Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada Otobus (2): Papa Gak Pulang, Beibeh...

Kompas.com - 13/09/2009, 12:27 WIB

”Meskipun penghasilan pas- pasan, yang penting anak saya bisa lebih baik dari saya,” tekad pria yang menjadi sopir bus sejak 23 tahun silam itu.

Lain lagi Nono Daryono (49), pengemudi bus Bejeu (BJU, singkatan dari Bongkotan Jati Utama) jurusan Jakarta-Jepara (Jateng), sempat nyambi jadi penggali kubur sebelum bergabung di perusahaan otobus (PO) baru ini.

”Waktu itu saya kepepet karena jatah nyopir cuma dapat sekali sebulan gara-gara penumpangnya sepi. Kebetulan rumah saya dekat kuburan. Saya dibayar Rp 20.000-Rp 30.000 setiap menggali,” tutur Nono.

Suka duka

Penghasilan pas-pasan bukan satu-satunya tantangan hidup yang harus dihadapi para sopir bus ini. Di jalan, mereka harus menghadapi hidup yang keras dan tak jarang nyawa menjadi taruhan. ”Kami pernah kehilangan sopir hanya gara-gara orang iseng. Mereka melempar batu ke kaca bus yang sedang melaju kencang. Batu itu mengenai mata sopir, yang lalu tidak bisa mengendalikan bus dan nabrak pohon,” ungkap Hans.

Nono pun pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1998, ia menyenggol seorang pengendara sepeda motor di Wiradesa, Pekalongan, Jateng. Pengendara sepeda motor itu, yang ternyata seorang janda anak satu, kehilangan kaki kirinya. ”Saya dipaksa mengawini dia, kalau tidak, perkaranya mau diperpanjang. Akhirnya saya kawini dengan sepengetahuan istri saya. Tetapi tidak bertahan lama karena jarang ketemu,” kata pria yang sudah 15 tahun jadi sopir bus ini.

Ahmad menambahkan, menjadi sopir bus malam tak cuma dituntut kuat secara fisik untuk menempuh jarak ratusan kilometer tiap hari, tetapi juga ketangguhan mental psikologis karena begitu banyak sumber stres di jalan. Mulai dari truk-truk besar yang lambat dan tak mau minggir, sampai para pengguna kendaraan pribadi yang tak tahu etika berlalu lintas. “Mereka sering main serobot di jalan, menyalip dari sisi kiri, tak memperhatikan lampu sein, dan tetap memacu kendaraan kencang saat kendaraan lain hendak menyalip,” ungkap Ahmad.

Namun, tak ada yang mengalahkan rasa sedih saat harus jauh dari keluarga saat Lebaran. Dua tahun berturut-turut, Nono harus menghabiskan dua hari Lebaran dengan menunggui bus kosong di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Bosnya belum mengizinkan ia pulang ke Jepara sebelum ada penumpang yang diangkut. ”Rasanya mau nangis. Apalagi di Jakarta susah cari makanan. Penjualnya banyak yang mudik,” ujarnya.

Lebaran ini, papa gak pulang lagi, beibeh....(Dahono Fitrianto)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com