Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transportasi Massal Versus Kemacetan

Kompas.com - 16/02/2010, 03:11 WIB

Di Indonesia, Lembaga Lebuhraya Malaysia adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Mungkinkah seorang Kepala BPJT menyatakan bahwa tak layak lagi dibangun tol tambahan di Jakarta? Atau, mungkinkah presiden direktur perusahaan jalan tol mengajak naik kereta yang merupakan ”musuh” jalan tol?

Faktanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta makin berhasrat menuntaskan enam ruas tol dalam kota, yakni Kemayoran- Kampung Melayu (9,646 km), Duri Pulo-Tomang-Kampung Melayu (11,38 km), Rawa Buaya-Sunter (22,8 km), Sunter-Pulo Gebang (10,8 km), Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), dan Ulujami-Tanah Abang (8,26 km).

Ketika seruan penolakan bermunculan, suara-suara tersebut lenyap. Padahal, suara-suara itu menyodorkan bukti negatif tol dalam kota, mulai dari polusi, pemborosan bahan bakar, hingga hilangnya ruang-ruang publik.

Padahal, perjumpaan dengan Dato’ Ismail bin Md Salleh, Sazally Saidi, dan Nor Azman bin Ishak sebenarnya meneguhkan pengalaman Seoul (Korea Selatan) dan Boston (Amerika Serikat). Hipotesis Seoul dan Boston malah ”hancurkan jalan tol dan bangun lebih banyak transportasi massal di sebuah perkotaan”. Seperti Kuala Lumpur, dua kota itu melihat tol tak mampu mengurai kemacetan.

Bagaimana bila transportasi massal tak cepat dibangun di kota-kota kita? Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memprediksi, kemacetan total tidak hanya di Jakarta. Namun, juga Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Semarang satu per satu macet total tahun 2015-2025.

Mengapa? Sekretaris Jenderal MTI Danang Parikesit mengatakan, ”Tak ada kebijakan koheren, tidak ada prioritisasi. Bangun transportasi massal iya, bangun jalan juga iya.”

Padahal, menurut dia, kemacetan total di sejumlah kota besar mengancam perekonomian. Kerugiannya juga tidak sedikit, tahun lalu Bandung merugi Rp 4,91 triliun akibat macet.

Sementara pakar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr Firdaus Ali, Msc, pada Desember 2009 mengatakan, kemacetan di seluruh pelosok Jakarta mengakibatkan kerugian seluruh warga mencapai Rp 28,1 triliun per tahun.

Dari total kerugian itu, kerugian akibat bahan bakar minyak yang terbuang percuma mencapai Rp 10,7 triliun, waktu produktif yang hilang Rp 9,7 triliun, kerugian pemilik angkutan umum Rp 1,9 triliun, dan kerugian kesehatan Rp 5,8 triliun.

Jadi, dari angka kerugian tadi, yang kini dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu berpikir dengan kepala dingin. Mengalkulasikan pertumbuhan jalan dibandingkan dengan kendaraan, lalu mencari jalan keluar terbaik dengan menetapkan transportasi massal apa yang dibangun. Bagaimana pembiayaannya?

Perancang Metro atau subway Washington DC, Warren Quenstedt, pada tahun 1960 mulai membangun jaringan transportasi dengan pertanyaan, ”kota macam apa yang ingin kita miliki?”

Jadi, kota macam apa yang ingin kita miliki? Kota dengan transportasi massal yang mumpuni sehingga kota-kota menjadi ”ramah”, atau konsep ”usang” yang memprioritaskan pembangunan tol dalam kota?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com