Bulungan, menurut saya, adalah sebuah tempat di Jakarta yang masih "beradab". Tempat di mana orang-orang masih bisa bertegur sapa dengan tulus, berkarya dalam bidang olahraga dan kesenian secara total, dan tempat berdiskusi masalah apa saja dengan nyaman sembari minum teh poci.
Tentang almrahum Mbah Surip, Pak John bilang, sepatu dan tas punggung yang pernah dikenakan almarhum penyanyi berambut gimbal itu, adalah bikinannya. "Lagu 'Ta Gendong' itu idenya dari tas bikinan saya," kenang pak John atas sahabatnya yang telah marhum itu.
Kembali ke Pak John,...John Kulit.
Malam di tahun 2002, saat pertama kali berkenalan dengan beliau, saya langsung diserang rasa takjub.
Bayangkanlah saudara-saudara, sambil berkacak pingang ia bersuit-suit dengan kerasnya hingga membuat kaget seisi Warung Apresiasi yang malam itu sedang menampilkan sebuah kelompok musik.
Lalu, ia pun menyambung dengan kata-kata begini, "You oke deh ya...." sebagai isyarat pujian dari Pak John.
Setelah lama mengenal Pak John, saya jadi tahu. Betapa banyak ungkapan-ungkapan aneh dari dirinya. Kadang ia berteriak, "You ok deh." Saat lain, ia cuma berteriak, "You deh."
Tapi apapun yang diteriakan Pak John, orang-orang tetap suka kepadanya. Soalnya adalah, karena Pak John yang tiada pernah absen dari bau alkohol dari mulutnya itu, tak pernah berbuat reseh.
Ia datang larut malam, dengan tas di pundak yang penuh kulit yang telah disamak, teriak-teriak, suit-suit, pesan makan dan minum, ngobrol, lalu pergi. Begitu selalu jika ia datang ke Bulungan.
Ke mana perginya pada dini hari, tiada orang yang tahu. "Saya pergi ke mana saya mau pergi. Saya pergi bersama angin," katanya kepada saya suatu malam.
Kadang memang begitulah Pak John. Sok puitis. Saat yang lain, ia bicara agak filosofis. Katanya, warna merah itu sebetulnya terdiri dari 32 warna. Tapi tiap kali ditanya, warna apa saja. Beliau selalu berucap, cari saja sendiri.
"Ke mana nyarinya, Pak John," tanya saya."Cari saja sendiri. Saya aja nyarinya bertahun-tahun."
Setelah saya desak, makna di balik ucapannya itu, Pak John pun memberi isyarat bahwa penemuannya pada 36 warna itu ada kaitannya dengan pencarian diri.
"Luar biasa...Indah," Pak John berkata sendiri dan diakhiri dengan suitan panjang.
"Apanya yang luar biasa indah, Pak John?" celetuk saya.
"Warna merah...32 warna"
Setelah saya capek mengorek keterangan tentang 32 warna yang berujung pada kesia-siaan, saya pun bertanya kepada Tuhan. Wahai Tuhan, apa maksud Engkau mengirim orang macam
Pak John malam-malam begini ke hadapanku?
"Ini ada kaitannya dengan Tuhan...," katanya lagi.
Deg. Jantung saya terasa berhenti. Kiranya Pak John tahu apa yang saya pikirkan. Sakti juga dia, pikir saya.
"Ada kaitannya dengan cahaya," kata saya sekenanya.
"Aha...you ok deh ya, ha ha ha," sahut Pak John.
Wah, akhirnya nyambung juga. Saya pun makin bersemangat mengimbangi pengetahuannya tentang warna merah yang menjadi tema percakapan malam itu.
"Ada putih, ada biru, ada kuning..." kengawuran makin saya tingkatkan.
"Terserah you deh, ya... he he he..." Jawaban Pak John mementahkan kembali hipotesis saya.
"Butuh bertahun-tahun deh ya untuk mencari jawabannya, ha ha ha..." Pak John ngakak, uap alkohol menyengat hidung saya.
"Kasih tahu dong, Pak John," saya penasaran.
"Pingin tahu deh ya, ha ha ha..."
Ah, ketimbang pusing, saya pun ikutan tertawa keras-keras.
"Aha.., you deh," katanya.
"You juga deh," kata saya.
Ha ha ha....
* * *
Pernah berminggu-minggu saya tak jumpa dengan Pak John. Suatu malam, sedang asyik saya menonton Sutardji Calzoum Bachri menyanyi lagu blues di panggung Warung Apresiasi, medadak telinga saya menangkap suitan panjang.
Ah, seperti rajawali dia. Melengking dahulu sebelum sampai pada sasaran. Benar juga. Dari salah satu sudut, ia muncul, dan...
"Oke deh ya."
Untunglah Sutardji tak terganggu konsentrasinya. Ia terus melagukan puisi Chairil Anwar dalam irama blues.
Kalau sampai waktuku ’Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini
binatang jalang ...