Sapi-sapi itu barangkali sapi-sapi yang ”bergaya hidup” paling urban di dunia. Mereka tinggal di salah satu jantung bisnis dan perkantoran paling mahal di Jakarta: kawasan Segitiga Emas Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Kandang mereka bertetangga dengan hotel mewah, seperti JW Marriott dan The Rizt-Carlton, yang jaraknya hanya sepelemparan batu. Di situ juga ada beberapa kantor kedutaan asing, mal, dan gedung perkantoran. Namun, letak kandang sapi itu tersembunyi di sebuah gang buntu di Jalan Perintis yang ramai oleh kendaraan dan lalu lalang karyawan kantor.
Siang itu kami mampir ke kandang milik Haji Mirdan (52). Mirdan sedang sibuk mengurus 40 ekor sapi miliknya dan milik kakaknya, Rido (53). Ia menyikat lantai semen kandang yang ternoda kotoran sapi. Ketika menggelontorkan air, aroma pesing kotoran sapi menusuk hidung. ”Habis kebanjiran semalam. Airnya sampai segini,” kata Mirdan sambil menunjuk lututnya.
Beternak sapi di belantara kota Jakarta, lanjut Mirdan, memang lebih repot daripada beternak di pedesaan. Ia harus siaga menghadapi banjir yang menerjang kandang. Ia juga harus melatih terlebih dahulu sapi-sapi yang baru didatangkan dari Jawa agar bisa beradaptasi dengan lingkungan Kuningan yang bising.
”Kalau sampi (sapi) yang lahir di sini, mah, kupingnya udah budek, enggak perlu adaptasi lagi. Jangan kata suara kendaraan, suara bom meledak di Marriott aja cuma bikin sampi kaget sebentar,” ujar Mirdan dengan logat Betawi kental.
Kerepotan lainnya adalah mencari rumput untuk pakan sapi. Mirdan dibantu Mukimin (53) yang bekerja sebagai pencari rumput sejak tahun 1982. Hari itu ia mencari rumput di tanah kosong persis di depan Hotel JW Marriott. Sesekali beberapa petugas satpam yang berjaga mengawasi Mukimin dari jauh. ”Mereka sudah tahu saya. Kalau saya masuk ke area kosong milik orang lain, paling penjaganya minta KTP dan duit rokok,” ujar Mukimin.
Kandang dan kos
Selain Mirdan, di kampung yang masuk wilayah Kuningan Timur itu terdapat empat peternak sapi yang masih bertahan. Salah seorang di antaranya Amir Hamzah (40) yang tinggal di sebuah rumah gedong bertingkat dua di Gang Eks AURI RT 004 RW 003. Dari luar, tidak ada tanda-tanda kandang sapi di rumah itu.
”Coba ente buka pintu itu,” ujar Amir sambil menunjuk pintu besi di samping rumahnya. Begitu pintu dibuka, terlihatlah 10 sapi berdiri berjejer. Tepat di belakang kandang sapi terdapat pabrik tahu yang ampasnya digunakan untuk pakan sapi.
Di atas kandang sapi, Amir membangun enam kamar kos untuk karyawan perempuan yang disewakan Rp 850.000-Rp 1 juta per bulan. Kamar-kamarnya bagus dan semuanya dilengkapi AC. ”Jadi, di sini ada dua (golongan) yang indekos. Di lantai bawah sampi yang indekos, di lantai atas manusia, ha-ha-ha.”
Sejauh ini, kata Amir, tidak ada anak kos yang komplain dengan bau sapi. Maklum, sebelum mereka bangun tidur, Amir telah membersihkan kandang dan memandikan sapi. Ketika mereka berangkat kerja, semua pekerjaan bersih-bersih sudah selesai. ”Nah, sebelum penghuni kos pulang kerja, sampi dan kandang dibersihkan lagi. Mereka enggak akan sempat mencium bau. Sampi mandi lima kali sehari, anak kos yang wangi-wangi itu cuma dua kali.”
Bagaimana dengan tetangga? Mereka, lanjut Amir, juga tidak komplain karena dulunya sama-sama peternak sapi. Kalau ada yang komplain, sudah pasti warga pendatang. ”Tapi, saya tinggal bilang, dibanding ente, sampi-sampi udah tinggal duluan di sini, ha-ha-ha,” ujar Amir yang mendapatkan peternakan sapi itu dari ayahnya.
Kawasan Kuningan dan sekitarnya dulu pernah menjadi sentra peternakan sapi perah di Jakarta. Tokoh senior Betawi, Irwan Syafi’i (81), yang sejak kecil tinggal di kawasan Setiabudi, menceritakan, sebelum masa revolusi kemerdekaan, ada dua pabrik susu milik Belanda, yaitu di Jalan Kawi dan Jalan Halimun yang tidak jauh dari Manggarai. Pabrik susu itu terintegrasi dengan peternakan sapi perah dan ladang rumput nan luas. ”Sapinya banyak banget. Saya dulu suka lihat-lihat peternakan sapi di situ,” katanya.
Menurut beberapa catatan, ada pula pabrik susu milik Belanda di Laan de Bruinschof yang sekarang bernama Tanah Abang III. Pabrik itu dikelola orang Belanda sekitar tahun 1930.
Karena ada peternakan besar, lanjut Irwan, orang-orang Betawi yang secara ekonomi cukup bagus ikut memelihara sapi tiga-lima ekor. Kebanyakan dari mereka juga mendirikan pabrik tahu karena ampasnya bisa digunakan untuk pakan. Lama-kelamaan, memelihara sapi jadi tren. Maka, muncullah peternakan sapi rakyat di Kuningan, Karet Bivak, sampai Mampang. ”Susu hasil peternakan rakyat ini kebanyakan dijual ke orang-orang (berkulit) putih yang tinggal di Menteng.”
Kalau sekarang, kata Mirdan, pelanggan susu kebanyakan ibu rumah tangga, pengelola kafe, dan warung soto betawi.
Pasca-Revolusi 1945, peternakan sapi dan pabrik susu Belanda habis semua. Yang tersisa tinggal peternakan sapi perah milik rakyat. Peternakan rakyat itu mencapai masa keemasan pada era 1970 dan 1980-an. Saking banyaknya peternak sapi perah, ada sebuah gang yang diberi nama Gang Susu. ”Babe saya aja dulu punya 60 sampi, yang diwarisin ke saya tinggal 10,” kata Amir Hamzah (40).
Akhir masa keemasan
Masa keemasan itu berakhir ketika kawasan Kuningan ditetapkan sebagai kawasan bisnis. Mulai tahun 1990, Pemerintah DKI Jakarta merelokasi peternak ke Pondok Rangon, Jakarta Timur. ”Harga tanah peternak di Kuningan dihargai 24 kali harga tanah di Pondok Rangon. Babe saya juga beli,” kata Amir.
Relokasi dilakukan bertahap. Tahun 1991 tercatat ada 70 peternak dengan 900 ekor sapi di Kuningan yang pindah ke Pondok Rangon. Tanah bekas peternakan di Kuningan Timur yang mencapai 68 hektar diubah jadi perkantoran, hotel, mal, dan kompleks kedutaan besar negara asing. Itu sebabnya wilayah itu juga disebut kawasan antarbangsa.
Di pinggir-pinggir gedung bertingkat tumbuh permukiman penduduk yang sangat padat. Di sanalah Mirdan, Hamzah, dan tiga peternak sapi perah lainnya mencoba bertahan. Mirdan mengatakan, banyak pihak yang mengincar peternakannya yang terletak tidak jauh dari batas pagar Mega Kuningan. ”Tapi, harganya belum cocok,” ujar Mirdan.
Hamzah berkata hal yang sama. ”Saya, sih, sudah beli tanah di Pondok Rangon. Jadi, kalau sewaktu-waktu harus pindah, saya bisa bikin peternakan di sana.”
Apa yang membuat mereka bertahan? Secara ekonomi, beternak sapi perah di Jakarta kini tidak memberi banyak keuntungan. Mirdan mengatakan, setiap hari dia hanya memperoleh uang Rp 360.000 dari penjualan susu segar. Setelah dipotong upah tukang rumput Rp 30.000 dan biaya pakan, uang yang ia pegang kurang dari setengahnya.
Meski begitu, Mirdan bertekad akan terus beternak sapi untuk menjalankan amanat babenya. ”Babe bilang, kalau mau hidup tenang, harus pelihara sampi. Sampi membuat kita sampe ke tujuan dan cita-cita kita. Berkat sampi babe saya, misalnya, sampe naik haji, sampe nyekolahin anak. Pokoknya sampe, daaaah.” (Sugihandari/Litbang)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.