Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung-kampung yang Bercerita tentang Dirinya

Kompas.com - 07/08/2013, 08:58 WIB

Para perupa ruang publik atau street artist dari dalam dan luar negeri ”menyerbu” kampung-kampung di Jakarta. Di kampung-kampung itu, seni menjadi narasi sejarah kecil, kisah yang bercerita tentang keseharian orang-orang kampung itu sendiri.

Seb Toussaint menggeleng ketika Siti Maimunah menawarinya untuk melukis mural pemandangan di dinding samping rumah Siti. Padahal, Toussaint-lah yang merayu Siti agar mengizinkannya melukis mural di dinding itu.

”Jangan sesuatu yang abstrak, ’kata’, kami mencari ’kata’. Tolong pilih satu ’kata’ yang inspiratif. Satu saja,” ujar Toussaint kepada Siti yang sepertinya senang rumahnya dipilih untuk dilukisi mural Toussaint.

Siti berpikir sejenak, mencari-cari kata, lalu teringat Jumat itu adalah hari pertama pada bulan Agustus, bulan kemerdekaan Indonesia. ”Merdeka?” Siti menawarkan.

Toussaint bertanya apa arti kata ”merdeka”, dan begitu mendapat jawaban ia langsung setuju. Ia kian senang ketika menerima secarik kertas bertuliskan ”merdeka”. ”Kata yang ringkas, kaya makna,” ujarnya sambil menggantung kertas itu ke kawat meteran listrik di dinding samping rumah Siti.

Diambilnya tabung cat semprot putih, tangannya cepat menoreh dua garis horizontal sejajar yang terpisah jarak satu meteran. Ia menaksir ukuran ideal huruf-huruf muralnya agar ”merdeka” pas memenuhi dinding samping selebar tujuh meteran itu.

Pilihan warga

Tabung cat semprot Toussaint seperti menari, cepat membentuk sketsa kasar muralnya di dinding abu-abu itu. Teman seperjalanan Toussaint, seorang fotografer dan pembuat film pendek yang menyebut dirinya Spag, segera mengeluarkan beberapa kaleng plastik cat akrilik, menyiapkan nampan cat dan kuas gulirnya. Keduanya terus berdiskusi tentang konsep mural yang akan mereka gambar di dinding rumah Siti.

Sejak Jumat (26/7/2013), Toussaint yang asal Inggris dan Spag yang asal Perancis berkeliling Kampung Bayur, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, dan melukis mural di tiap dinding kosong yang terlihat ke jalan.

”Kenapa Kampung Bayur?” Toussaint mengulangi pertanyaan. ”Ya karena kami menumpang di rumah teman kami, di dekat sini. Lalu kami berjalan kaki masuk ke sejumlah kampung dan akhirnya memutuskan membuat mural di sini,” ujar perupa yang pernah membuat mural di Bolivia, Paraguay, Brasil, China, dan sejumlah negara Eropa itu.

”Biasanya saya hanya melintas, membuat sebuah mural dalam sehari. Ini pertama kalinya saya dan Spag menjelajah satu kampung hingga tiga pekan,” kata Toussaint.

Hingga Kamis (1/8/2013) tengah hari, mereka telah merampungkan empat mural, semuanya mengandung sebuah kata. ”Assalamualaikum”, ”Banjir”, ”Bismillah”, dan ”Kali Malang”. Tiap kata dipilih sendiri oleh pemilik rumah, kecuali ”Banjir” yang dilukis di tembok depan rumah Frans Simatupang.

”Mereka memilih sendiri kata itu, mungkin karena mendengar cerita kalau kampung kami sering kebanjiran. Nyaris tiap tahun kami kebanjiran,” kata Simatupang, yang Kamis itu juga menonton Toussaint dan Spag bekerja.

Seni, penawar masalah?

Bukan hanya permukiman di Kampung Bayur yang diserbu para seniman seperti Toussaint dan Spag. Longoklah Kampung Babakan di Desa Binong, Kecamatan Curug, Tangerang.

Di tembok samping rumah Tini (37), misalnya, terlukis ayam jago seukuran satu setengah meter berkokok. Di samping ayam jago itu tertulis nasihat lama orangtua, ”jangan malas bangun pagi!!!” ”Yang menggambar orang Jakarta, sekitar sebulan yang lalu. Mereka melukis sambil berhujan-hujan, sampai pukul 21.00,” kata Tini.

Ia masih mengingat sepuluhan seniman yang datang dan menjelajah kampung halamannya yang kini dikepung perumahan mewah, pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah internasional, dan lapangan golf itu. ”Waktu mereka bertanya boleh atau tidak menggambar tembok samping rumah, saya iyakan. Malahan, saya menawarinya untuk melukis di tembok dalam rumah,” kata Tini tertawa.

Tak hanya rumah Tini yang menjadi berwarna gara-gara serbuan para seniman mural di Kampung Babakan. Mereka juga melukisi dinding depan Balai RW dan banyak sudut rumah warga lainnya. Berbeda dengan Toussaint dan Spag yang membuat mural berdasar kata pilihan warga Kampung Bayur, semua mural di Kampung Babakan menjadi ”tembok belajar” yang mengampanyekan pendidikan untuk anak.

Yayasan AgenKultur ada di balik serbuan para seniman ruang publik ke Kampung Babakan. Mereka menggelar Parade Mural Kampung Babakan Mei lalu, diikuti para sukarelawan Jakarta Art Movement (JAM), sebuah gerakan seni aktivisme yang menggagas Kampoong Art Attack. AgenKultur sendiri sebuah lembaga nirlaba yang menjalankan pendidikan informal bagi warga Kampung Babakan, termasuk pendidikan paket A, B, dan C bagi orang putus sekolah.

”Kami telah mendampingi warga Babakan sejak 2007. Kampung ini dikepung banyak sekolah internasional, tetapi ribuan warganya putus sekolah sejak SD dan SMP. Itu mengapa mural Kampoong Art Attack di Babakan kami konsep sebagai ’tembok belajar’. Sejumlah 11 komunitas seni ruang publik merespons ’tembok belajar’ sebagai medium untuk mengajari anak-anak. Ada yang melukis huruf, angka, bentuk, atau kampanye bersekolah,” kata Ketua AgenKultur, FW Pei.

Para perupa ruang publik yang terlibat Parade Mural Kampung Babakan pada Mei lalu merupakan sukarelawan Jakarta Art Movement, sebuah gerakan seni aktivisme yang menggagas Kampoong Art Attack. AgenKultur sendiri merupakan satu dari banyak organisasi, kelompok, ataupun individu yang menjalankan serbuan seni ke kampung-kampung di Jabodetabek itu.

”Sejak Februari lalu kami ikut mengonsep Kampoong Art Attack yang digagas JAM di sejumlah kampung di Jakarta, termasuk di Kampung Tanah Tinggi dan Kampung Rawa di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, dan Kampung Babakan. Kami terlibat dalam aktivitas Kampoong Art Attack di kampung lain, mereka juga datang ke Babakan,” kata Pei.

Berbeda dengan Toussaint dan Spag yang serba kebetulan, Ketua JAM Bambang Asrini Widjanarko menyebutkan Kampoong Art Attack memiliki sejumlah kriteria untuk memilih kampung yang bakal ”diserbu seni”. Sepanjang 2013, Kampoong Art Attack telah ”menyerbu” Johar Baru, Curug, dan Kampung Bali Mester di Jatinegara.

”Semua kampung itu memiliki permasalahan sosial yang coba kami dekati dengan aktivitas seni. Di Johar Baru, warganya terus terlibat tawuran antarkampung, dengan rantai kekerasan yang panjang dan terwariskan selama tiga generasi. Di Kampung Bali Mester, melukis dihadirkan sebagai terapi bagi orang dengan skizofrenia, sebagian dari kampanye menghentikan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang dengan skizofrenia,” kata Bambang.

Apakah seni menyerbu kampung untuk menawarkan solusi? Baik JAM maupun Toussaint menjawab tidak. Seni bukan solusi bagi tawuran di Johar Baru, ketimpangan akses pendidikan di Babakan, ataupun banjir di Bayur.

”Sayalah yang sebenarnya belajar dari warga dan warga Kampung Bayur mengajari banyak hal,” ujar Toussaint. ”Kalau apa yang saya kerjakan menginspirasi warga untuk mengekspresikan gagasan mereka dengan mural, itu sangat baik,” kata Toussaint. ()

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Megapolitan
Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Megapolitan
Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Megapolitan
Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Megapolitan
Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Megapolitan
Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Megapolitan
Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Megapolitan
Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Megapolitan
Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Megapolitan
Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Megapolitan
Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Megapolitan
Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Megapolitan
Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com