Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menjelaskan, tawuran pelajar adalah jenis kekerasan yang relatif berbeda dengan kekerasan-kekerasan lainnya. Tawuran pelajar tidak terkait dengan motif politik ataupun ekonomi.
"Para pelakunya bukanlah orang-orang yang mencari nafkah atau tersibukkan untuk mencari penghidupan," kata Devie saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/10/2013).
Menurut Devie, salah satu penyebab utama tawuran kemudian menjadi tradisi karena adanya perselisihan yang menahun antar-sekolah. Perselisihan kemudian bertahan puluhan tahun karena terwariskan kepada murid-murid baru atau generasi selanjutnya.
"Dengan pewarisan sense of identity, seorang siswa baru akan menjadi siswa yang utuh dari sekolah itu apabila mereka menyerang murid sekolah lainnya," ungkap Devie.
Devie mengaku, dia pernah menemukan para alumnus sebuah sekolah di Jakarta yang membanggakan bagaimana sekolah mereka dulu berani menyerang sekolah-sekolah lainnya. Secara tidak langsung, tentu saja para alumnus sekolah itu menegaskan sekolah mereka adalah sekolah yang disegani karena ketangguhan fisiknya.
"Hal itu tentu memperlihatkan betapa kekerasan telah menjadi cara membuktikan diri dan identitas," ujarnya.
Menurut data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pada 2009, sebanyak 0,08 persen atau 1.318 dari 1.647.835 siswa SD, SMP, dan SMA di DKI Jakarta terlibat tawuran. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam peristiwa penyiraman air keras di sebuah bus PPD 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol, Jumat (4/10/2013), pelaku penyiraman berinisial RN alias Tompel (18) yang merupakan pelajar SMA I Budi Utomo Jakarta, juga mengaku dendam kepada pelajar SMK Karya Guna. Bagi pelajar SMK Budi Utomo, pelajar SMK Karya Guna adalah musuh. Begitu pula sebaliknya.
Terlebih lagi, lebih kurang setahun yang lalu, Tompel pernah menjadi korban penyiraman air keras yang diduga dilakukan pelajar SMK Karya Guna di kawasan Kelor, Matraman. Alasan penyerangan, bus itu sering ditumpangi oleh siswa SMK Karya Guna.
Kekerasan pelajar berlatar belakang kebencian antar-sekolah juga pernah terjadi di Jakarta, September tahun 2012. Saat itu, seorang pelajar SMA 70 berinisial FR alias Doyok menikam seorang pelajar SMA 6 bernama Alawy Yusianto Putra dengan arit, dalam sebuah tawuran di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.
Alawy tewas, sementara Doyok saat ini menjalani hukuman penjara selama 7 tahun seusai vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Mei 2013 lalu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.