”Mau ke mana lagi. Di sini enak, banyak jajanan murah meriah buat anak-anak. Yang pasti dekat rumah,” ujar Andri, warga di permukiman padat yang datang bersama dua anaknya yang masih sekolah dasar. Sementara ayah dan ibu duduk di rerumputan, anak-anak mereka berlarian dengan ceria.
Butuh bercengkrama
Bagi banyak warga, kehadiran ruang terbuka hijau seperti di pinggiran BKT atau di banyak kawasan perumahan memang menjadi oase untuk sejenak menghapus kepenatan dan kesumpekan.
Koko, misalnya, mengayakan, tempat nongkrong di pinggir KBT mengasyikkan. Sebelumnya, ia bingung mencari tempat yang nyaman dan gratis untuk bercengkerama dengan teman. ”Sejak ada KBT, kami punya tempat nongkrong. Pas karena dekat dengan kantor. Cukup beli kopi Rp 4.000 bisa duduk sepuasnya di tikar milik pedagang,” ucapnya.
Bagi Joni, nongkrong atau kongko-kongko itu adalah kebutuhan. Manfaatnya adalah menyegarkan pikiran. "Pusing mikir kerjaan terus. Apalagi banyak masalah di apartemen, masalah parkiran, ruwet,” katanya.
Bahkan, di jantung kota, seperti di seputaran Bulungan, Blok M, yang dikelilingi mal-mal berpenyejuk ruangan, ruangan kosong pinggir jalan tetap menjadi idola. Orang tidak sekadar makan. Mereka mencari suasana berbeda.
Para penjual gulai daging berikut jeroan yang populer dengan nama ”gultik” (gulai tikungan) berjejer menempati sedikit lahan kosong pinggir jalan.
Orang-orang dari berbagai kalangan—mereka yang bermobil, naik sepeda motor, atau bahkan hanya berjalan kaki—nyaris setiap hari mengunjungi tempat yang menjadi semacam tetirah melepas lelah itu. Sebagian di antara mereka datang berpasang-pasangan, bahkan ketika hari cenderung tidak memungkinkan, seperti Selasa lalu seusai hujan lebat disertai angin kencang.
”Paling ramai ya setiap malam Minggu," kata Angga (17), tukang parkir di kawasan itu. Ia dan rekan-rekannya bahkan sampai bosan melihat banyaknya pengunjung yang datang untuk berpacaran. ”Kadang-kadang kita diamkan, tapi agak risi juga melihatnya,” ujar Angga yang bernama asli Ayub.
Satu porsi gulai Rp 8.000 plus teh dalam botol Rp 3.000, sangat terjangkau. Sebagian penikmat gulai itu bisa saja membeli makanan yang lebih mahal di restoran mewah tidak jauh dari sana. Namun, masak ya setiap hari?
Apalagi, tempat nongkrong pinggir jalan itu menawarkan suasana berbeda. (Eko Warjono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.