Ketika itu, tidak satu pun pintu terbuka. Hanya ada jendela kaca yang terbuka di bagian tengah dan belakang kereta. Setelah keluar dari kereta maut tersebut, Ratna menyadari bahwa tangannya melepuh karena menyentuh benda panas.
Korban lainnya Eka (25), penumpang kereta dari Stasiun Sudimara. Berbeda dengan Ratna, Eka memanfaatkan pintu yang terbuka setelah terjadi benturan keras.
Tidak terbayang, perempuan ini melompat dari badan kereta ke lintasan rel berbatu setinggi 1,5 meter. Pikirannya hanya ingin menyelamatkan diri.
Peristiwa naas tersebut menyisakan trauma. Selain luka-luka fisik, hampir semua korban mengalami trauma psikis. Direktur Rumah Sakit Dr Suyoto, Jakarta Selatan, Kolonel Kesehatan Budi Satriyo meminta bantuan psikolog untuk memulihkan kondisi korban. ”Mereka mengalami trauma inhalasi sehingga perlu bantuan psikolog dan oksigen,” kata Budi.
Sementara sebagian besar korban terluka karena benturan benda keras dan luka bakar. Korban dengan luka bakar lebih dari 30 persen dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki sarana pemulihan korban kebakaran. Paling tidak ada 80 korban kecelakaan kereta yang dibawa ke RS Suyoto, 2 di antaranya meninggal dunia, dan 15 korban dirujuk ke rumah sakit lain.
Rumah sakit ini menjadi pos penanganan awal korban kecelakaan karena berada kurang dari 2 kilometer dari lokasi kejadian. Puluhan orang mendatangi Rumah Sakit Dr Suyoto untuk memastikan nasib sanak saudaranya. Sebagian orang enggan dimintai keterangan seraya menjauh dari papan pengumuman dengan isak tangis.
Menghadapi korban trauma membutuhkan kesabaran tersendiri. Sugeng, misalnya, kemarin terus membujuk salah satu korban kecelakaan, Rasikem, yang tengah hamil agar mau dievakuasi ke rumah sakit.
Berkali-kali petugas dan guru turut membujuknya agar mau mendapatkan perawatan lebih lanjut. Namun, Rasikem tak mau karena masih menunggu suaminya datang.
Seorang guru perempuan pun mendekat membawa semangkuk soto dan sepiring nasi.
”Mbak, makan saja dulu. Biar tidak lemah, kasihan bayinya. Apakah mau saya suapin?” kata guru tersebut.
”Biar saya makan sendiri saja, Bu,” sahut Rasikem yang lantas menyendok makanan itu. Setelah korban makan, beberapa guru dan petugas kesehatan kembali membujuk perempuan tersebut sehingga akhirnya mau dievakuasi ke rumah sakit dengan ambulans.
”Dia awalnya tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tadi, katanya, mau menunggu suaminya dulu. Kami takutnya ada apa-apa,” kata Sugeng.
Ada puluhan korban luka yang dibawa ke SDN 011 itu. ”Yang lukanya agak berat langsung dibawa ke rumah sakit. Sementara yang tersisa di sini yang belum mau dievakuasi. Mereka katanya menunggu dijemput keluarga,” kata Sugeng.
Ningsih (50), salah seorang penumpang yang memilih bertahan di SDN 011, mengatakan, ia naik dari Stasiun Sudimara hendak ke Palmerah, ke tempat saudaranya. ”Tiba-tiba, terdengar suara benturan keras dan kereta terguling. Kami semua terjatuh,” kata Ningsih yang berada di gerbong pertama.
Menurut Ningsih, penumpang bisa selamat karena ada sejumlah warga setempat yang berusaha memecahkan kaca kereta dari luar gerbong.
”Ada bapak-bapak pakai sarung memecahkan kaca pakai batu. Setelah kaca pecah, kami bisa keluar,” ujar Ningsih.
Ningsih bersyukur karena ada warga yang mau menolong meski waktu itu api sudah begitu besar dengan asap yang membubung tinggi. ”Kalau tidak ada yang mecahin kaca, mungkin korban lebih banyak,” ujarnya.
Api membesar karena bahan bakar yang tumpah dari tangki truk yang tertabrak kereta. Bahkan, saat hujan turun dengan deras, api tetap terlihat menyala. Di tengah guyuran hujan, petugas berusaha mengevakuasi korban meninggal yang masih terjebak di kereta. Baru sekitar pukul 13.30, api dapat dipadamkan. Akhirnya sekitar pukul 15.45, petugas berhasil mengangkat korban terakhir. Baju basah kuyup dan lelah, tetapi kelegaan tampak di mata petugas. (RAY/NDY/JOS/NEL/MKN)