JAKARTA, KOMPAS.com -
Ruang kota menjadi wadah aktivitas warga kota, pendatang, dan lingkungan. Perencanaan penggunaan lingkungan alam, buatan, dan sosial dalam ruang kota Jakarta dilakukan supaya tercipta keharmonisan. Namun, penyimpangan rencana tata ruang wilayah terus terjadi
.

Penggunaan ruang DKI Jakarta sudah diatur dengan kebijakan gubernur melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) sejak 1965. Perencanaan pertama, Rencana Induk 1965-1985, mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Berikutnya, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 mulai mengatur pengembangan hanya ke arah timur dan barat serta mengurangi tekanan pembangunan di utara. Pembangunan di wilayah selatan sebagai daerah resapan mulai dibatasi.

Ketika RTRW 2010 dikeluarkan tahun 1999, rancangan arah pengembangan kota berubah. Selain pengembangan ke arah timur dan barat, pembangunan justru juga diarahkan ke utara yang sebelumnya dibatasi. Rencana terkini, RTRW 2030, menyebutkan, arah pengembangan pembangunan tetap sama dengan tetap membatasi pertumbuhan di selatan. Pembangunan diarahkan secara vertikal dan kompak karena semakin sesaknya ruang Jakarta.

Meskipun perencanaan sudah dibuat, penyimpangan terus terjadi. Pelanggaran terhadap rancangan justru ”diputihkan” dengan penerbitan RTRW periode berikutnya.

Daerah selatan Jakarta, misalnya, dalam rencana tata ruang, pengembangan kawasan ini dibatasi. Kenyataannya, aturan ini terus dilanggar hingga sekarang. Bahkan, setiap tahun ada kecenderungan peningkatan proporsi lahan terbangun di wilayah yang ditetapkan sebagai resapan air ini.

Tahun 1983, areal terbangun masih 26 persen dari luas total. Dua puluh tahun berikutnya, kawasan terbangun meningkat menjadi 72 persen. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan proporsi daerah terbangun di Jakarta Utara dan Timur.

Kawasan Kemang salah satunya. Area ini dikenal sebagai kawasan permukiman alami di Jakarta Selatan. Sampai 1987, wilayah tersebut masih sangat nyaman karena hijau dan suasananya alamiah. Dalam RUTR 2005 (1985-2005), kawasan yang menjadi bagian daerah aliran Sungai Krukut ini ditetapkan sebagai kawasan permukiman dengan pengembangan terbatas karena fungsinya sebagai daerah resapan air.

Sejak pertengahan 1990-an, kawasan ini berubah menjadi kawasan komersial yang disesaki kafe, restoran, hotel, dan pertokoan. Perubahan peruntukan ini pernah diributkan tahun 1997 dan buntutnya penertiban beberapa usaha kafe dan restoran. Dalam rangka menghindari perubahan fungsi lahan yang lebih parah, Kemang ditetapkan sebagai Kampung modern dua tahun kemudian. Luas bangunan dibatasi, hanya boleh 20 persen dari keseluruhan tanah. Tinggi bangunan maksimal tiga lantai.

Kenyataannya, sampai sekarang, lahan di Kemang semakin padat bangunan. Jika curah hujan tinggi, muncul genangan dan banjir di lokasi-lokasi yang rendah. Kemacetan juga sering terjadi karena jalan-jalan yang tak terlalu lebar di daerah ini diperuntukkan bagi jalan lingkungan permukiman.

Tidak hanya di Jakarta Selatan, perubahan fungsi lahan juga terjadi di bagian utara Ibu Kota. Tahun 1977, kawasan Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan bakau lindung, hutan wisata, dan pembibitan oleh Menteri Pertanian. Tahun 1982, sekitar 70 persen kawasan hutan lindung ini malah diserahkan kepada swasta untuk dibangun kawasan permukiman, komersial, dan fasilitas pendukungnya.

Penyerahan ini kemudian berujung pada perubahan fungsi lindung. Walaupun menjadi perdebatan publik hingga tingkat nasional, kawasan permukiman skala besar tetap saja dibangun di area yang berbatasan dengan hutan lindung bakau. Dampak tak terjaganya fungsi lindung ini sudah mulai dirasakan warga Jakarta. Banjir acap kali menggenangi beberapa lokasi jalan tol menuju bandara. Akibat lanjutannya muncul kemacetan dan terputusnya akses bandara.

Contoh lain wilayah Kelapa Gading. Dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985, kawasan ini difungsikan menjadi persawahan, daerah resapan air, dan rawa yang akan menjadi lokasi penyimpanan sementara atau sekadar ”parkir” air laut yang pasang serta menjadi pencegah banjir daerah sekitarnya. Dalam perkembangannya, Kelapa Gading dijadikan daerah perumahan dengan pembatasan pembangunan dan mengharuskan pengembang membangun dam besar. Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi lahan terbangun berbuntut banjir, apalagi dam besar belum juga terwujud hingga saat ini.

Penyimpangan penggunaan lahan skala kecil juga sering dilakukan masyarakat. Rumah dibangun di atas sempadan sungai, pertokoan di jalur hijau, dan perubahan fungsi permukiman menjadi komersial.

Pembiaran

Produk rencana kota boleh dikatakan hanya jadi tumpukan kertas. Rencana di dalamnya jarang terlaksana. Penyimpangan fungsi lahan bisa terjadi dari pembiaran terhadap perubahan satu unit kapling. Selanjutnya, satu per satu kapling sekelilingnya ikut berubah.

Penyimpangan baru diributkan setelah terjadi pada puluhan, bahkan ratusan unit kapling. Sanksi yang diterapkan hanya penyegelan atau pembongkaran bangunan. Belum ada penerapan sanksi pidana seperti yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pintu perubahan tata lahan semakin terbuka saat muncul Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Aturan itu memungkinkan mengubah rencana tata letak bangunan dengan persetujuan gubernur dengan syarat memberi insentif ke kas daerah (Kompas, 25/11). Untungnya, setelah terbit Undang-Undang Penataan Ruang Tahun 2007, ketentuan retribusi dari penyesuaian rencana tata letak bangunan tidak diatur lagi dalam perda terbaru tentang retribusi daerah.

Pemprov DKI memang sudah berbuat. Mereka berusaha mengembalikan fungsi kawasan yang telah berubah. Salah satunya dilakukan Gubernur Suryadi Soedirja dengan menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 77 Tahun 1997 yang memerintahkan menertibkan usaha komersial di daerah Kemang. Namun, instruksi ini seakan diabaikan. Kegiatan komersial tetap mendominasi Kemang.

Pembongkaran SPBU yang berdiri di jalur hijau tahun 2006 lalu juga jadi contoh keseriusan Pemprov DKI meskipun tindakan ini dilakukan setelah izin pengoperasian SPBU berakhir. Begitu pula dengan usaha normalisasi sungai untuk pencegahan banjir. Sudah ada rencana pembongkaran bangunan yang berdiri di sempadan sungai.

Sayangnya, upaya itu belum bisa mengembalikan tata ruang Jakarta seperti yang ada di RTRW. Masih diperlukan tindakan yang ajek untuk memberikan teguran dan sanksi terhadap pelanggar tata ruang.

Disetujuinya Perda Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi oleh DPRD DKI pekan lalu bisa jadi pijakan baru menata Jakarta. (Litbang Kompas/ M Puteri Rosalina)