Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menilai, penutupan empat pintu Tol Dalam Kota berdampak positif. Syaratnya, dibarengi beragam kebijakan pro-transportasi publik lainnya.
Menurut Danang, saat penutupan pintu tol, kecepatan kendaraan di jalan tol meningkat menjadi 25-30 kilometer per jam per mobil. Hal itu membuat semakin banyak mobil masuk tol. ”Sebelumnya, kendaraan hanya mampu melaju 15-20 kilometer per jam. Akibatnya, mobil yang masuk tol lebih sedikit,” katanya.
MTI sejauh ini belum melihat penutupan empat pintu tol bermotif kepentingan ekonomi tertentu. Belum efektifnya penutupan pintu tol akibat tidak diimbangi penerapan kebijakan pro-transportasi publik lainnya.
Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan adalah promosi penggunaan tiket tol elektronik. Tol elektronik bisa mempersingkat waktu keluar masuk tol menjadi hanya 2-3 detik. Waktu itu jauh lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan karcis tol konvensional yang menghabiskan waktu 5-6 detik di pintu tol.
Ketua Bidang Komunikasi Publik MTI Milatia Kusuma tetap berpendapat penambahan armada bus harus jadi prioritas. Ia melihat, belum efektifnya penutupan pintu tol dipicu kebingungan masyarakat menemukan transportasi publik ideal.
”Keberadaan bus nyaman dan aman belum dirasakan masyarakat. Mereka pilih macet ketimbang harus menunggu lama dan berdesakan di dalam bus,” kata Milatia.
Pengamat transportasi dari UI, Alvinsyah, menilai, sah-sah saja jika uji coba itu dihentikan jika memang dampak negatifnya lebih besar daripada sisi positifnya. Hanya saja, ke depan, kepolisian dan Jasa Marga harus lebih komprehensif dalam melakukan perencanaan sehingga kebijakan bisa bertahan lama.
”Pola penutupan ini di satu koridor. Dampak yang kita lihat satu wilayah, analisisnya satu wilayah. Ini seperti arus air, dibendung satu titik, mencari jalan di tempat lain. Kita tidak tahu proses perencanaannya seperti apa, apakah sudah ada antisipasi titik-titik gelembung akibat kebijakan ini,” kata Alvinsyah.
Menurut Alvinsyah, seperti kebijakan three in one, pengendara akan mengubah pola dengan menghindarinya. ”Ada yang mengubah rute, ada yang mengubah jam. Harapannya, pola berubah ke transportasi umum, tetapi angkutan umum belum memadai,” ujarnya.
Ia menambahkan, rekayasa-rekayasa lalu lintas di Jakarta hanya bisa dilakukan sebagai solusi jangka pendek mengatasi kemacetan. Ibaratnya hanya obat sementara, selama permasalahan utama tidak diatasi. (FRO/CHE/RTS/RAY/NDY)