Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerasan di Seberang Istana Negara

Kompas.com - 01/08/2014, 09:43 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Deretan mobil milik wisatawan mengular di pinggir Jalan Medan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat. Setiap 10 meter, area dijaga oleh seorang tukang parkir yang berbeda. Mereka mengatur mobil yang masuk keluar di areanya masing-masing dengan menarik sejumlah uang.

Para tukang parkir tersebut tidak mengenakan seragam selayaknya tukang parkir resmi Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Gaya saat mengatur keluar masuk mobil tersebut cenderung kasar. Berteriak-teriak sambil memukul-mukul mobil jika pemilik mobil tidak mengikuti instruksi sang tukang parkir.

Berada tidak jauh dari pusat-pusat kekuasaan, sebut saja ada Istana Negara, Istana Wakil Presiden, dan Balaikota, rupanya tidak juga menghentikan praktik-praktik ilegal berbau pemerasan semacam itu. Apa lagi jika bukan parkir liar?

Doni Irawan (32), serta keluarga datang jauh-jauh dari Magelang, Jawa Tengah, 28 Juli 2014, tepat saat Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah. Niat berwisata ke Monumen Nasional (Monas) sekaligus menaiki bus tingkat City Tour Jakarta terganggu oleh praktik "getok" uang parkir sebesar puluhan ribu.

Pria yang berwirausaha di bidang konstruksi baja itu sampai ke pelataran Monas kira-kira pukul 13.00 WIB. Lantaran berputar-putar ke pelataran parkir Monas, tetapi tidak kunjung mendapat parkir, dia mengarahkan mobil ke tepi Jalan Medan Merdeka Selatan.

"Pas saya turun, tukang parkir minta dibayar duluan. Saya kasih Rp 5.000, tapi dia mintanya Rp 20.000," ujar Doni kepada Kompas.com di kawasan Monas, Kamis (31/7/2014) siang.

Semula, Doni yang datang bersama istri, dua anak, serta saudaranya hendak menolak uang parkir yang diminta. Namun, dirinya tak ingin merusak suasana liburan bersama keluarga. Akhirnya, dengan terpaksa dia menyerahkan selembar uang Rp 20.000 kepada tukang parkir.

Sang istri, Elva Kurnia Dewi (31), khawatir jika permintaan tak dipenuhi, tukang parkir akan berbuat yang tidak-tidak pada mobilnya. Pasalnya, ketika ia sekeluarga tengah berjalan di antara mobil-mobil yang sedang parkir, wanita yang bekerja sebagai notaris ini memergoki tukang parkir yang tengah mengempesi ban salah satu mobil.

"Saya sih enggak tau kenapa dikempesi kayak gitu. Saya nebak-nebak saja mungkin pemilik mobil enggak bayar sesuai yang diminta atau gimana," ujar dia.

Pemuda yang didapatinya tengah mengempesi ban mobil tidak menggunakan seragam parkir atau tidak mengenakan atribut Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Oknum tukang parkir tersebut, kata Elva, mengenakan kaus hitam dan celana jins saja.

"Sangat keberatan sebenarnya. Orang kemarin saya ke Mal Taman Anggrek saja Rp 4.000 per jam, masa ini puluhan ribu? Pemerasan ini namanya. Tapi ya terpaksa parkir di situ. Mau di mana lagi?" timpal Doni.

Tak hanya Doni dan Elva, wisatawan asal DKI Jakarta lain bernama Charles Dirgantara (35) mengakui mengalami hal yang sama. Dia malah lebih parah dari Doni. Tukang parkir meminta uang parkir sebesar Rp 30.000 di awal dan Rp 10.000 pada saat mobilnya mau keluar.

"Padahal, saya cuma sebentar parkirnya. Anak saya cuma mau beli gulali sama mainan di dalam. Saya mau melawan tapi malaslah, ya sudah," ujar dia saat hendak ingin menaiki bus tingkat City Tour di Halte Balaikota.

Kompas.com sempat mencoba mewawancarai juru parkir di jalan tersebut. Namun, mereka tidak bersedia menjawab. Salah satu tukang parkir malah membentak dengan berteriak, "wartawan enggak ada urusan. Kami ini hanya cari makan," ujar dia.

"Bukan tanggung jawab kami"

Kepala Unit Pelaksana (UP) Perparkiran DKI Jakarta Sunardi Sinaga menampik aktivitas parkir liar di seputaran Monas berada di bawah tanggung jawabnya. Menurut dia, aktivitas itu tanggung jawab polisi, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Dinas Perhubungan.

"Lokasi yang kami (UP Perparkiran) kelola itu, yakni di parkir IRTI. Tarif pun sesuai retribusi parkir," ujar Sunardi saat dikonfirmasi, Kamis siang.

"Jika ada pengelolaan perparkiran di luar IRTI, yakni di seputaran Monas, berarti itu liar dan bukan tanggung jawab kami," sambung dia.

Sunardi mengatakan, pihak yang seharusnya melakukan penindakan atas aktivitas parkir liar tersebut adalah Kepolisian setempat, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau personel Dinas Perhubungan. Pihaknya tidak ingin mencampuri tugas pokok fungsi lembaga lain.

"Ya, semestinya ditertibkan. Bila perlu orang itu ditangkap. Itu ilegal, bahkan kategori aksi pidana karena ada unsur pemerasan," lanjut dia.

Oleh sebab itu, Sunardi menyarankan kepada wisatawan yang "digetok" uang parkir mahal oleh tukang parkir tersebut untuk parkir di pelataran yang telah disediakan. Selain itu, masyarakat diimbau untuk tidak memberikan uang parkir kepada oknum tersebut.

Hingga saat ini, Kepala Kepolisian Sektor Metro Gambir Ajun Komisaris Besar Putu Putra Sadana belum memberikan keterangan soal praktik pemerasan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Casis Bintara Dibegal saat Berangkat Psikotest, Sempat Duel hingga Dibacok di Tangan dan Kaki

Casis Bintara Dibegal saat Berangkat Psikotest, Sempat Duel hingga Dibacok di Tangan dan Kaki

Megapolitan
Potensi Konflik Horizontal di Pilkada Bogor, Bawaslu: Kerawanan Lebih Tinggi dari Pemilu

Potensi Konflik Horizontal di Pilkada Bogor, Bawaslu: Kerawanan Lebih Tinggi dari Pemilu

Megapolitan
Polisi Masih Selidiki Penyebab Kematian Pria di Kali Sodong Pulogadung

Polisi Masih Selidiki Penyebab Kematian Pria di Kali Sodong Pulogadung

Megapolitan
Ladang Uang di Persimpangan Cakung-Cilincing, Dinikmati 'Pak Ogah' Hingga Oknum Polisi

Ladang Uang di Persimpangan Cakung-Cilincing, Dinikmati "Pak Ogah" Hingga Oknum Polisi

Megapolitan
Jelang Pilkada, Bawaslu Kota Bogor Imbau ASN Jaga Netralitas

Jelang Pilkada, Bawaslu Kota Bogor Imbau ASN Jaga Netralitas

Megapolitan
Ada Donasi Palsu Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana, Keluarga: Kayaknya Orang 'Random'

Ada Donasi Palsu Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana, Keluarga: Kayaknya Orang "Random"

Megapolitan
Serba-serbi Penertiban Jukir Minimarket, Ada yang Mengaku Ojol hingga Pakai Seragam Dishub

Serba-serbi Penertiban Jukir Minimarket, Ada yang Mengaku Ojol hingga Pakai Seragam Dishub

Megapolitan
Dharma Pongrekun Melaju, Sudirman Said hingga Poempida Batal Ikut Pilkada DKI Jalur Independen

Dharma Pongrekun Melaju, Sudirman Said hingga Poempida Batal Ikut Pilkada DKI Jalur Independen

Megapolitan
Orangtua Calon Taruna Minta Seleksi Masuk STIP Tak Ditutup demi Perjuangkan Cita-cita Anak

Orangtua Calon Taruna Minta Seleksi Masuk STIP Tak Ditutup demi Perjuangkan Cita-cita Anak

Megapolitan
Donasi Palsu untuk Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana Disebut Tembus Rp 11 Juta

Donasi Palsu untuk Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana Disebut Tembus Rp 11 Juta

Megapolitan
Para Jukir Lansia Minimarket Itu Diputus Rezekinya...

Para Jukir Lansia Minimarket Itu Diputus Rezekinya...

Megapolitan
Penerimaan Mahasiswa STIP Dimoratorium, Orangtua Calon Taruna Minta Seleksi Dilanjutkan

Penerimaan Mahasiswa STIP Dimoratorium, Orangtua Calon Taruna Minta Seleksi Dilanjutkan

Megapolitan
Muncul Donasi Palsu untuk Korban Kecelakaan Pelajar SMK Lingga Kencana

Muncul Donasi Palsu untuk Korban Kecelakaan Pelajar SMK Lingga Kencana

Megapolitan
Seleksi Mahasiswa Baru STIP Ditunda, Calon Taruna: Jangan Sampai Pak Menteri Hancurkan Mimpi Kami

Seleksi Mahasiswa Baru STIP Ditunda, Calon Taruna: Jangan Sampai Pak Menteri Hancurkan Mimpi Kami

Megapolitan
Orangtua Calon Taruna Minta Kemenhub Tinjau Ulang Moratorium Seleksi Mahasiswa Baru

Orangtua Calon Taruna Minta Kemenhub Tinjau Ulang Moratorium Seleksi Mahasiswa Baru

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com