Syafrie menilai, jaksa penuntut umum tidak mampu memberikan alat bukti yang kuat dari dakwaan primer, yaitu Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang didakwakan kepada kliennya.
"Untuk dapat menghukum terdakwa, minimal ada dua alat bukti," ujar Syafrie Noer.
Syafrie Noer melanjutkan, selama proses persidangan, jaksa tidak mampu memberikan bukti pembunuhan berencana tersebut. Alat bukti dakwaan, kata Syafrie, bisa dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan keterangan saksi ahli.
Saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung kejadian adalah Ahmad Imam Al Hafitd, terdakwa lain kasus ini. Namun, kata Syafrie, Hafitd adalah saksi mahkota yang keterangannya tidak bisa sepenuhnya dijadikan alat bukti. Sementara itu, tak ada saksi lain yang mengalami langsung kejadian selain Hafitd.
Syafrie juga mengatakan, jaksa tidak berupaya menghadirkan ahli forensik sebagai saksi ahli. Padahal, hal itu bisa menjadi alat bukti bagi dakwaan Assyifa. Ahli forensik yang dimaksud Syafrie adalah dokter yang melakukan visum terhadap Ade Sara.
Ketidakhadiran saksi ahli dalam sidang ini diwakilkan lewat surat visum saja. Keterangan Hafitd sebagai saksi dan surat visum sebagai pengganti kehadiran saksi ahli tidak dianggap sebagai alat bukti.
"Oleh karena itu, alat bukti yang dihadirkan JPU sangat lemah karena tergantung pada keterangan terdakwa dan pengakuan terdakwa saja," ujar Syafrie.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.