Para guru itu digaji sebesar Rp 300.000 per bulan dari sumbangan donatur. Gaji tersebut baru mulai mereka dapatkan tahun 2010, atau empat tahun sejak sekolah berdiri.
Sekolah gratis ini memang berbeda dengan sekolah lain. Di luar pendanaan yang mengandalkan donatur tak tetap, setiap akhir pekan sejumlah relawan datang mengajarkan hal baru.
Selain itu, sekolah ini terbuka bagi siapa saja. Setiap orang dengan beragam latar belakang agama, suku, dan ras bisa menjadi murid, guru, atau relawan.
Pada awal Desember mendatang, misalnya, sekolah ini akan kedatangan mahasiswa dari Universitas Katolik Daegu, Korea Selatan. ”Perbedaan itu pelengkap untuk memberikan perspektif yang luas terhadap kehidupan,” kata Agustian.
Bima (24), relawan yang telah ikut sejak 2013, tak pernah merasa ada masalah dengan perbedaan tersebut.
Sekolah raya
Keinginan untuk berbagi dan menularkan semangat yang ada dari sekolah alam ini mendapat sambutan dari sejumlah komunitas. Pada September lalu, 12 komunitas mengukuhkan diri dalam sebuah wadah yang mereka namakan Sekolah Raya.
Bersama komunitas yang tersebar mulai dari Bekasi, Jakarta, hingga Kota Malang di Jawa Timur, Sekolah Raya ingin memberi pengajaran kepada anak-anak jalanan, anak yatim, dan anak-anak tanpa materi berlebih lainnya.
Nana Zuri, Direktur Program Sekolah Raya, menyampaikan, setiap komunitas yang tergabung dalam Sekolah Raya bukan komunitas baru. Mereka mempunyai visi yang sama setelah melihat perkembangan kurikulum dari sekolah alam.
Hingga saat ini telah ada sekitar 400 relawan dari sejumlah komunitas yang tergabung dalam Sekolah Raya. Satu hal yang ditekankan dalam setiap program pengajaran, hal yang didapatkan harus dibagi dan diajarkan kepada orang lain.
Mereka tak ingin anak-anak itu hanya menerima tanpa berbuat sesuatu. Sebab, mereka menyadari, berbagi dan menerima adalah satu-kesatuan yang utuh.
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat dengan judul yang sama di Harian Kompas edisi Senin (1/12/2014).