Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Kota Bersolek, Warga Terpikat

Kompas.com - 06/01/2015, 14:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Alisa (7) semringah. Tanpa canggung, ia menghampiri seorang bocah berusia setahun. Tidak sampai lima menit, Alisa sudah akrab bermain dengan bocah kawan barunya. Alisa pun bisa mengenal baik orangtua si bocah itu. Keriaan berlanjut dengan berkeliling bersama di Taman Jogging, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Taman Jogging bagi si gadis imut Alisa merupakan tempat bermain terasyik. ”Tiap hari, saya main di sini, biasanya sama nenek,” ujar Alisa yang tinggal di dekat lokasi.

Risma, nenek Alisa, membenarkan perkataan si cucu. Sambil mengawasi Alisa, Risma memanfaatkan fasilitas olahraga taman itu. Namun, karena usia yang hampir 70 tahun, Risma sekadar berjalan atau pijat kaki di lintasan berbatu.

Setiap akhir pekan dan libur, Taman Jogging lebih meriah karena didatangi banyak orang. Mereka berolahraga, berekreasi, atau bergaul dengan orang baru. Suasana cair dan hangat.

Di Ibu Kota kini memang ada tren baru. Setiap akhir pekan, warga datang ke taman. Mereka ingin menyegarkan mata dan hati sekaligus menambah sahabat. Warga tidak melulu datang ke satu taman, tetapi pindah-pindah untuk mendapatkan suasana yang terus baru.

Yang jadi favorit warga Jakarta antara lain Taman Suropati, Taman Jogging, Taman Waduk Ria Rio, dan Taman Tugu Proklamasi.

Diperjuangkan

Yudhi Widdyantoro dari Komunitas Yoga Gembira mengatakan, taman bukanlah sesuatu yang diberi, melainkan diperjuangkan.

Sejak 2009, komunitas ini rutin yoga di Taman Suropati, Jakarta Pusat. Setiap kali yoga diadakan, 70 orang ikut serta.

”Dengan beraktivitas di taman, warga bersatu menyuarakan hak mereka akan udara dan lingkungan yang bersih,” kata Yudi. Selain itu, peruntukan taman tidak berubah, tumbuh rasa memiliki, dan siap mempertahankan taman saat diserobot kepentingan komersial.

Beryoga di taman, menurut Yudhi, mengajarkan warga Ibu Kota belajar dari makhluk hidup. ”Tumbuhan besar dan tumbuhan kecil hidup berdampingan dan saling memberikan manfaat,” katanya.

Hal senada juga diutarakan oleh Septian Fajrianto dari Komunitas Sketsaku. Pada awalnya ada ketakutan beraktivitas di taman karena merasa asing, tiada lampu, kotor, tanaman tidak terawat, dan tertutup pagar.

Ada kesan, jika memakai taman harus lewat perizinan rumit dan berbelit. ”Tidak nyaman dan taman terasa milik golongan tertentu,” kata Septian.

Namun, kini, akses warga ke taman sudah lebih terbuka. Renovasi juga membuat taman-taman lebih nyaman. Untuk itu, lanjut Septian, komunitas kian bersemangat rutin menggambar sebagai sarana pertemanan dan menumbuhkan kreativitas seni.

”Saat saya menggambar, ada iringan musik dari komunitas lain. Saya jadi mendapat banyak inspirasi,” kata Septian. Tanpa taman, komunitas merasa Jakarta akan terasa gersang.

Kondisi serupa juga terjadi di taman-taman di luar Ibu Kota. Di Taman Kencana, Bogor, beberapa tahun ini diperjuangkan oleh seniman, budayawan, dan kaum muda sebagai tempat ekspresi seni dan budaya dalam Festival Taman Kencana dan Gelar Seni Budaya Sunda. Setiap hari libur, taman ini dipenuhi komunitas sketsa, fotografi, seni rupa, musik, teater, olahraga, bahkan bela diri.

Antusias

Pegiat ruang terbuka hijau dan arsitek lanskap Nirwono Joga mengatakan, patut disyukuri bahwa taman-taman mulai digandrungi dan dihidupkan oleh warga. Sayangnya, informasi taman-taman masih terbatas. Warga hanya mengakses taman-taman yang sudah terkenal, seperti Taman Surapati, Taman Ayodya, atau Taman Jogging.

Beberapa taman ada yang menarik, tetapi jauh dari jalan raya utama atau jauh dari angkutan utama, seperti transjakarta dan KRL. Contohnya, Taman Spathodea di Jalan Kahfi, Jakarta Selatan, Taman Cempaka di Jalan Setu, dan Taman Kembang Sepatu di Jakarta Timur.

Yang disayangkan, banyak taman tidak dilengkapi toilet atau prasarana umum. ”Itu menunjukkan taman hanya ditunjukan untuk warga sekitar, bukan publik,” ujar Nirwono.

Lamban

Biarpun taman-taman mulai digandrungi oleh warga, jumlahnya masih di bawah kebutuhan. Regulasi mensyaratkan, kebutuhan ruang terbuka hijau suatu daerah minimal 30 persen.

Di Ibu Kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cuma mampu menambah RTH rata-rata 50 hektar per tahun. Padahal, untuk mencapai target 30 persen luas Jakarta berupa RTH pada 2030 perlu penambahan 250 hektar per tahun. Kemampuan seperlima dari kebutuhan.

Salah satu penghambat penambahan taman pada 2014, antara lain masalah di peraturan pengadaan barang dengan sistem lelang elektronik. Maksudnya, sumber daya manusia belum terbiasa dengan sistem baru tersebut. Akibatnya, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak terealisasi. ”Idealnya, ada waktu tiga tahun untuk transisi,” kata Nirwono.

Jakarta juga belum memiliki rencana induk taman. Setiap instansi punya rencana masing- masing. Misalnya, Dinas Tata Ruang memetakan potensi RTH di tingkat kelurahan, sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah bencana menjadikan RTH sebagai tempat evakuasi. Belum ada koordinasi yang baik untuk memadukan seluruh perencanaan di sejumlah instansi dalam satu kesatuan.

Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Nandar Sunandar mengatakan, baru sedikit taman yang selesai dibangun tahun ini. Dari 89 rencana pembangunan taman, baru selesai 5 taman. Sebanyak 41 taman lainnya masih dikerjakan.

Nandar mengatakan, 43 tempat lainnya batal dikerjakan karena berbagai sebab, terutama pembebasan lahan. Beberapa pemilik tanah mengagunkan sertifikat tanah sehingga pemerintah tidak bisa membeli tanah itu untuk RTH. Ada juga lahan yang diokupasi pihak lain.

Di Kota Bogor, baru sebanyak 27 taman aktif yang dikelola pemerintah. Sampai akhir 2014, ditargetkan selesai pembangunan lima taman baru. Kekuatan finansial Kota Bogor jauh di bawah Ibu Kota. Pemerintah tidak mampu membeli atau membebaskan lahan untuk dijadikan RTH berupa taman. Yang dilakukan adalah menata, mempercantik, dan menghidupkan lokasi-lokasi yang cocok untuk taman.

Peneliti lingkungan, Ernan Rustiandi, mengatakan, taman ialah ruang publik yang amat bermanfaat bagi warga. Kota yang punya banyak taman seharusnya mampu merawat dan menjaga kondisi taman agar selalu cantik, menarik, dan enak dinikmati. ”Jika taman-taman gagal menarik warganya, ruang publik itu sia-sia,” kata Ernan, Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah diminta fokus merawat ruang publik besar, seperti kebun binatang, hutan kota, dan taman besar. Yang skala kecil dikelola dengan skema kerja sama dengan swasta atau malah komunitas.

”Di mancanegara, sudah lazim pemerintah meminta komunitas memelihara taman mikro,” kata Ernan. Pemerintah tetap berperan membantu komunitas dalam mengelola. Komunitas yang berhasil mengelola taman bisa diberikan kewenangan lebih besar, misalnya suatu saat mengubah desain dan mengembangkan sistem pengelolaannya. (Agnes Rita Sulistyawaty/Ambrosius Harto Manumoyoso/Denty Piawai Nastitie)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com