Sambil menikmati segelas kopi, ia mengamati layar ponsel yang tidak lepas dari tangannya. "Biasanya jam segini banyak orang kantoran yang pesan ojek, HP (ponsel) harus on terus," kata pria bernama Syarif itu, Rabu (10/6/2015).
Syarif belum genap 1 bulan menjadi pengendara ojek berbasis aplikasi mobile bernama Go-Jek di Jakarta. Sebelumnya, ia adalah seorang tukang ojek konvensional yang biasa mangkal di kawasan dekat rumahnya di Fatmawati.
Meski belum 1 bulan, Syarif mengaku sudah kerasan bekerja sebagai tukang ojek panggilan berbasis seluler.
"Enak, tidak perlu rebutan pelanggan. Biasanya kalau pangkalan kan kalau enggak antri ngojek ya rebutan penumpang. Ini beda, kita dapet pesanan, ada yang order kita ambil," sebut Syarif yang sudah 5 tahun menjadi tukang ojek pangkalan.
Kehidupan lebih baik
Dalam sehari, order yang diterima Syarif terbilang lebih banyak dibanding saat menjadi ojek konvensional. Dengan orderan lebih banyak, dompetnya pun makin tebal. Pria yang pernah bekerja sebagai satpam di kompleks perumahan itu juga merasa kehidupannya lebih baik.
Senada dengan Syarif, Tinus juga merasa lebih enak setelah bergabung dengan Go-jek. Waktunya tidak terbuang hanya untuk mangkal. Ia pun bisa mengatur waktu untuk bersama keluarga.
"Dulu kalau dipikir-pikir lebih banyak mangkalnya daripada nariknya. Kalau sekarang begitu pagi udah ada yang mesen buat diantar ke kantornya," kata Tinus.
Sekitar pukul 13.00 ia pun bisa pulang untuk makan siang, kecuali ada yang memesan layanan ojek. "Sampai jam 8 malam. Jam 9 saya stop buat jemput anak saya pulang kerja," tutur Tinus yang banyak beroperasi di kawasan Setiabudi hingga Blok M.
Dianggap ancaman
Meski nyaman dengan konsep ojek panggilan yang sedang populer di Ibu Kota, para tukang ojek ini tidak lepas dari momen-momen tidak mengenakkan saat "narik".
Syarif dan Tinus mengungkapkan beberapa kali pernah berselisih tukang ojek konvensional yang berada di daerah penumpang yang memesan jasa ojek panggilan dari mereka.
"Pernah waktu itu nganter makanan dari Rasuna Said ke Tebet abis nganter ke kompleks rumah, distopin sama tukang ojek pangkalan pas lewat pangkalan mereka. Mereka nanya dari mana mau ke mana kok lewat sana," ungkap Tinus.
Pengalaman Syarif lebih tidak mengenakkan. Ia pernah tidak mendapat tempat berhenti di Stasiun Kebayoran. Tukang-tukang ojek yang biasa mangkal di tempat itu tidak menghalanginya mengambil penumpang yang baru turun dari kereta api.