Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Saya Terpaksa Mudik Naik Bus..."

Kompas.com - 23/07/2015, 08:00 WIB

KOMPAS - Anton (26) tampak gelisah di dalam bus ekonomi AC jurusan Jakarta-Solo. Keringatnya bercucuran meski bus itu dilengkapi penyejuk. Perusahaan otobus menjanjikan keberangkatan hari Senin (13/7) pukul 08.00. Namun, hingga siang bus itu masih bergeming di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.

Keinginan untuk segera bertemu istri dan anaknya di Semarang, Jawa Tengah, pun terpaksa ia tepis perlahan karena waktu pemberangkatan bus yang ia tumpangi juga kian terlambat. Bus yang berkapasitas 55 orang itu masih lengang, hanya diisi sekitar 20 penumpang, termasuk Anton dan temannya. Tidak ada tawa, hanya gelisah dan kecewa yang terasa di dalam bus yang berusia lebih dari 15 tahun itu. Sesekali pedagang asongan masuk menjajakan jualannya dengan kesan setengah memaksa.

Naik bus adalah pilihan terakhir Anton. Ia telah kehabisan tiket kereta api. Ia juga tak punya sepeda motor untuk mudik. Naik bus pun ternyata tak semurah yang ia bayangkan.

"Awalnya, penjual tiket bilang, harganya Rp 450.000 untuk dua orang. Tapi, saat di loket, saya dimintai Rp 900.000 untuk dua orang," ujar Anton sambil memandangi tiketnya. Beberapa perusahaan otobus (PO) di Terminal Pulogadung juga mematok harga yang sama.

Sebenarnya, Anton berniat membeli tiket bus milik PO yang kerap ia gunakan. Namun, saat memasuki Terminal Pulogadung, seseorang berpakaian PO mendekati dan menariknya ke loket PO. Di sana, satu-dua orang berbadan tambun tanpa identitas PO telah menunggu dan menawarkan tiket dengan tarif tinggi.

"Ayo, cepat bayar, bus sudah mau berangkat ini!" kata Anton, memperagakan ucapan orang berbadan tambun itu. Akhirnya, Anton pun terpaksa membayar.

"Uang tunjangan hari raya saya yang sekitar setengah juta rupiah habis untuk bayar tiket bus ekonomi ini," ucap Anton yang bekerja sebagai pembersih taman sebuah kompleks perumahan di Bekasi. Padahal, sesuai tarif batas atas untuk bus ekonomi jurusan Solo, Jawa Tengah, tidak lebih dari Rp 120.000.

Bus yang telah didempul sekenanya di sejumlah bagian itu akhirnya beranjak dari terminal tersebut sekitar pukul 13.00. Namun, lebih kurang dua jam bus itu masih berkeliling di sekitar Jakarta Timur dan Bekasi. Beberapa penumpang yang telah datang sedari pagi pun berceloteh menahan marah, "Ini kapan berangkatnya?"

Tidak berhenti di situ, saat melalui jalan poros Indramayu-Cirebon, Jawa Barat, pada malam hari bus berhenti sejenak. Selain pedagang asongan, tiga pemuda naik ke bus, meminta uang setengah memaksa. "Kami hanya mencari makan, tidak ingin mencopet...," ujarnya. Setelah itu, mereka mendekati dan meminta uang dari penumpang.

Bus itu baru memasuki Brebes, Jawa Tengah, lewat dari pukul 21.00, atau sekitar delapan jam dari Jakarta. Padahal, saat itu tidak ada kemacetan sehingga perjalanan ke Brebes seharusnya bisa ditempuh sekitar lima jam.

Dua penumpang yang merupakan turis asal Belanda pun ikut bersuara dengan bahasa yang tak dimengerti penumpang lain. Sang sopir dan dua kernet bus itu ketus menjawab, "Tunggu penumpang dulu, lagi sepi, nih," jawab seorang kernet.

Tiket mahal

Rony (28), penumpang lain, mengeluhkan hal yang sama. Harga tiket bus Rp 450.000 itu tidak sebanding dengan pelayanan yang didapatkan. Di luar ketidaktepatan waktu berangkat dan perjalanan, makanan yang diperoleh penumpang pun tidak gratis. Moda transportasi bus juga dianggap tidak aman. Ia menuturkan, kondisi bus saat ini masih sama sejak terakhir kali ia menggunakan moda transportasi itu sekitar tiga tahun lalu.

Menurut dia, saat memasuki terminal, calo tiket membuat calon penumpang tidak nyaman karena menawarkan tiket dengan memaksa. Tidak hanya itu, harga tiket pun kadang tidak sesuai dengan kesepakatan awal. "Makanya, orang-orang lebih memilih angkutan lain untuk mudik," ucapnya.

Muhammad Mudakir (21), penumpang asal Gresik, Jawa Timur, memaparkan, untuk sampai di Gresik dari Jakarta dengan menaiki bus, dibutuhkan biaya Rp 500.000 dan waktu tempuh 14 jam. Jumlah itu lebih mahal dibandingkan menggunakan kereta api yang cuma Rp 125.000 dengan waktu tempuh hanya 10 jam.

Ketidaknyamanan bus mungkin menjadi alasan turunnya minat penumpang bus. Tren penurunan penumpang terlihat empat tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, tahun 2012 masih ada 5,9 juta orang yang menggunakan angkutan umum darat untuk mudik, tetapi pada 2013 turun menjadi 5,5 juta penumpang.

Tahun 2014 jumlah penumpang menyusut lagi menjadi 5,2 juta orang dan pada tahun ini diprediksi lebih kecil lagi, yakni 4,9 juta penumpang.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit mengatakan, penurunan minat pemudik angkutan bus dapat memicu kemacetan karena pemudik menggunakan kendaraan pribadi. Jika hal itu terjadi, risiko kecelakaan dapat bertambah karena jam terbang pengemudi kendaraan pribadi tidak sebanyak sopir bus.

Danang menuturkan, pemerintah semestinya secara ketat mengontrol tarif bus. Maksimal kenaikan tarif bus tidak lebih dari 50 persen. "Kalau penumpang merasa kenaikan terlalu tinggi, mereka akan semakin meninggalkan bus," ujarnya.

Ketua Organda Indonesia Adrianto Djokosoetono mengatakan belum menerima aduan tentang pelanggaran tarif bus ekonomi. Ia hanya berjanji akan mengevaluasi pelayanan bus setelah arus balik selesai. "Jika ada tarif yang melebihi kesepakatan, perusahaan bus akan kami tegur," ujarnya.

Adrianto mengakui bahwa pengelola bus harus berbenah, tetapi pemerintah juga harus mendukung angkutan umum. Dukungan itu antara lain meningkatkan prasarana, seperti terminal yang aman dan nyaman, bebas dari calo, dan fasilitas yang bagus.

Jalur yang rusak dan macet, ujarnya, seakan turut membuat biaya operasional membengkak hingga dua kali lipat karena waktu tempuh semakin lama. Faktor itu pula yang membuat tarif bus relatif mahal.

Semua pihak perlu duduk bersama untuk memperbaiki kualitas pelayanan transportasi umum darat. Jangan sampai bus hanya menjadi pilihan terakhir atau menggunakannya dengan penuh keterpaksaan. Jika tidak ada perbaikan, bus akan terus ditinggalkan penumpangnya. (B05/B12)

________________________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2015, di halaman 1 dengan judul ""Saya Terpaksa Mudik Naik Bus..."".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Tangkap Pembunuh Pedagang Perabot di Duren Sawit, Ternyata Anak Kandung Sendiri

Polisi Tangkap Pembunuh Pedagang Perabot di Duren Sawit, Ternyata Anak Kandung Sendiri

Megapolitan
Diduga Korsleting, Bengkel Motor Sekaligus Rumah Tinggal di Cibubur Terbakar

Diduga Korsleting, Bengkel Motor Sekaligus Rumah Tinggal di Cibubur Terbakar

Megapolitan
Kardinal Suharyo Tegaskan Gereja Katolik Tak Sama dengan Ormas Keagamaan

Kardinal Suharyo Tegaskan Gereja Katolik Tak Sama dengan Ormas Keagamaan

Megapolitan
Ditawari Izin Tambang, Kardinal Suharyo: Itu Bukan Wilayah Kami

Ditawari Izin Tambang, Kardinal Suharyo: Itu Bukan Wilayah Kami

Megapolitan
Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Ditangkap Polisi

Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Ditangkap Polisi

Megapolitan
Pengelola Rusunawa Marunda Lapor Polisi soal Penjarahan Sejak 2023

Pengelola Rusunawa Marunda Lapor Polisi soal Penjarahan Sejak 2023

Megapolitan
Paus Fransiskus Kunjungi Indonesia: Waktu Singkat dan Enggan Naik Mobil Antipeluru

Paus Fransiskus Kunjungi Indonesia: Waktu Singkat dan Enggan Naik Mobil Antipeluru

Megapolitan
Pedagang Perabot di Duren Sawit Tewas dengan Luka Tusuk

Pedagang Perabot di Duren Sawit Tewas dengan Luka Tusuk

Megapolitan
Tak Disangka, Grafiti Bikin Fermul Belajar Mengontrol Emosi

Tak Disangka, Grafiti Bikin Fermul Belajar Mengontrol Emosi

Megapolitan
Sambut Positif jika Anies Ingin Bertemu Prabowo, PAN: Konsep 'Winner Takes All' Tidak Dikenal

Sambut Positif jika Anies Ingin Bertemu Prabowo, PAN: Konsep "Winner Takes All" Tidak Dikenal

Megapolitan
Seniman Grafiti Ingin Buat Tembok Jakarta Lebih Berwarna meski Aksinya Dicap Vandalisme

Seniman Grafiti Ingin Buat Tembok Jakarta Lebih Berwarna meski Aksinya Dicap Vandalisme

Megapolitan
Kunjungan Paus ke Indonesia Jadi yang Kali Ketiga Sepanjang Sejarah

Kunjungan Paus ke Indonesia Jadi yang Kali Ketiga Sepanjang Sejarah

Megapolitan
Kardinal Suharyo: Kunjungan Paus Penting, tapi Lebih Penting Mengikuti Teladannya

Kardinal Suharyo: Kunjungan Paus Penting, tapi Lebih Penting Mengikuti Teladannya

Megapolitan
Paus Fransiskus Akan Berkunjung ke Indonesia, Diagendakan Mampir ke Istiqlal hingga GBK

Paus Fransiskus Akan Berkunjung ke Indonesia, Diagendakan Mampir ke Istiqlal hingga GBK

Megapolitan
Warga Langsung Padati CFD Thamrin-Bundaran HI Usai Jakarta Marathon

Warga Langsung Padati CFD Thamrin-Bundaran HI Usai Jakarta Marathon

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com