Sikap birokrasi yang tak konsisten ini, menurut Ketua Ciliwung Merdeka, Sandyawan, merugikan warga. Menurut Sandyawan, yang mendampingi warga Kampung Pulo memperjuangkan hak mereka, semestinya pemilik tanah di Kampung Pulo memperoleh sertifikat atas tanah mereka dalam program Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) Badan Pertanahan Nasional. Sebab, tanah itu sudah ditempati warga selama 20 tahun lebih.
Tak pernah sendiri
Namun, kegalauan yang dirasakan Soleh terkait rencana relokasi ini lebih dari sekadar masalah ganti rugi tanah. Menurut dia, Kampung Pulo memiliki arti istimewa karena di kampung itu ia tak pernah merasa sendirian. Meski selalu didera banjir, selalu ada warga yang datang membantu tanpa diminta di kampung itu.
Soleh menuturkan, ada tetangganya seorang pemulung. Namun, tetangga itu tetap bisa menyekolahkan ketiga anaknya karena hidupnya selalu dibantu warga sekitar.
"Persaudaraan di Kampung Pulo ini sangat erat. Kami warga Kampung Pulo merasa nyaman dengan itu," tutur Soleh yang khawatir semua itu hilang saat ia dipindah dari kampungnya.
Kekhawatiran itu terutama muncul karena dia dan warga lainnya dipaksa pindah ke rumah susun, sebuah arena sosial yang sama sekali berbeda dengan rumahnya di Kampung Pulo yang menapak tanah.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pada 1980, antropolog Australia, Lea Jellinek, menggambarkan dampak sosial penggusuran warga Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Dalam bukunya, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta (LP3ES, 1991), digambarkan lemahnya daya hidup warga miskin Kebon Kacang setelah penggusuran.
Secara khusus Jellinek menyoroti nasib warga yang memilih rumah susun. Hidup mereka menjadi lebih rentan karena mereka tak terbiasa menyisihkan uang untuk membayar sewa tempat tinggal. Akibatnya, unit-unit rusun yang ditempati dijual kepada pihak lain.
Merumahkan kembali
Sosiolog Universitas Indonesia, Robertus Robert, menyampaikan, Pemprov DKI perlu memahami bahwa kampung adalah rumah. Untuk merumahkan kembali warga, warga harus dilibatkan aktif dalam prosesnya.
"Karena di rumah ada proses sosial yang unik, melibatkan hidup orang, termasuk emosi. Karena dari rumah, setiap orang membangun masa depan, tak peduli itu keluarga miskin atau kaya," tutur Robert.
Secara sosial, lanjut Robert, tak mudah bagi orang menerima tempat tinggal baru. Sebab, mereka tak memiliki referensi tempat yang baru itu.
Tak heran, warga Kampung Pulo merasa tak cukup dengan unit Rusun Jatinegara meski dalam pandangan warga kelas menengah Ibu Kota, unit rusun itu sangat layak dan bernilai rupiah tinggi.
Risna (29), warga lain Kampung Pulo, mengatakan, rumahnya dihuni tiga keluarga, mulai dari nenek, orangtua, dan keluarga intinya sendiri. Profil keluarga Risna ini gambaran umum di Kampung Pulo. "Ada sembilan orang tinggal di rumah. Bagaimana kami bisa tidur di unit (rusun) yang kecil ini," ujarnya.
Pendekatan Pemprov DKI yang cenderung teknokratis dan mengejar target, menurut Robert, membuat kebutuhan sosial warga yang direlokasi tak terpenuhi. "Pendekatan ini yang harus diubah. Pendekatan yang lebih humanis, itu yang perlu dikedepankan," katanya.
Menurut Robert, tuntutan warga terkait ganti rugi tanah mereka merupakan ekspresi kekhawatiran mereka akan masa depan yang tak pasti di tempat baru. Itu sebagai akibat mereka tak dipersiapkan untuk tinggal di tempat baru.
Sosiolog tersebut mengingatkan, saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah rasa percaya kepada pemerintah.
----------------
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Rabu, 12 Agustus 2015, dengan judul "Merumahkan Kembali, Bukan Asal Memindah...".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.