Dari setiap biaya pengelolaan sampah (tipping fee) yang diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada pengelola TPST Bantargebang, yakni PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), sekitar 20 persen di antaranya diberikan kepada Pemerintah Kota Bekasi dan warga sekitar.
Nuryadi mengakui, dia seharusnya menerima dana kompensasi Rp 100.000 per bulan yang diberikan setiap tiga bulan sekali.
Namun, selama ini dia hanya mendapatkan Rp 190.000 per tiga bulan karena dipotong Rp 100.000 untuk biaya pembangunan jalan di dalam kampung dan Rp 10.000 yang merupakan bantuan sukarela atau uang lelah kepada ketua RT.
Amin Sujana (50), warga RT 004 RW 003 Sumurbatu, mengakui, warga selama ini hanya diberi dana kompensasi, tetapi tidak pernah diperhatikan.
Keluhan warga mengenai sampah terkait debu sampah yang beterbangan ke rumah warga dan air bersih tidak pernah ditanggapi pemerintah.
"Belum lagi saat TPST Bantargebang kebakaran, warga juga yang kena imbasnya," ucap Amin kesal.
Tidak hanya warga Sumurbatu yang tinggal bersisian dengan TPST Bantargebang, terdapat juga dua kelurahan lain di Kecamatan Bantargebang yang berada di sekitar kawasan tersebut, yakni Kelurahan Ciketing Udik dan Cikiwul. Saunah (55), warga Cikiwul, misalnya, juga mengeluhkan bau sampah yang makin menyengat dan akses air bersih.
Saat DPRD Kota Bekasi melakukan inspeksi ke TPST Bantargebang, sejumlah warga Sumurbatu, seperti Nuryadi dan Amin, turut ditanya keluhannya.
Untuk itu, mereka berharap kunjungan tersebut tidak bersifat politis atau untuk popularitas, tetapi dapat memiliki dampak positif bagi warga.
"Kami sudah kenyang dengan penderitaan," ucap Nuryadi.
Kunjungan Komisi A DPRD Kota Bekasi yang didampingi Dinas Kebersihan Kota Bekasi dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bekasi terkait evaluasi terhadap perjanjian kerja sama mengenai pemanfaatan TPST Bantargebang antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi.