Ika mengatakan, kepindahan keluarganya yang semula menetap di Pondok Ungu Permai, Bekasi Utara, sampai kini di Papua berkaitan dengan organisasi Gerakan Fajar Nasional (Gafatar).
"Sebenarnya, lost contact sejak mereka menjual semua handphone milik mereka. Namun, awal bulan ini, adik saya sempat SMS pakai nomor orang dan sekarang tidak bisa dihubungi lagi. Itulah terakhir kalinya dapat kabar," ujar Ika kepada Kompas.com, Rabu (13/1/2016).
Ika mengaku sangat khawatir kepada keluarganya. Sebab, melalui SMS terakhir, keluarga meminta Ika mengirim sejumlah uang untuk membeli makanan.
Ika juga mendapat kabar bahwa pengikut Gafatar yang berada di Papua Barat sudah dipindahkan kembali ke Kalimantan. Ika semakin kesulitan mencari kabar keluarganya.
Anggota keluarga yang hilang adalah ayahnya, Susilo Heru Suwito, dan sang ibu.
Empat orang adiknya, yaitu Rayhan, Ukhty Fathya Rahma, Miftah Andini, dan Qory Ghumaida, juga hilang karena mengikuti orangtua Ika.
Ika memiliki tujuh orang saudara. Dia bersama adiknya yang tidak tergabung Gafatar masih berusaha mencari keluarganya itu.
Awal bergabung Gafatar
Ika kemudian bercerita awal mula keluarganya bergabung dengan Gafatar. Ketika itu, sekitar tahun 2011, Ika yang sudah menikah dan menetap di Bandung mengunjungi rumah orangtuanya di Bekasi.
Ketika sampai di sana, Ika melihat ada pengajian yang sedang digelar di rumahnya. Namun, Ika menemukan beberapa hal yang janggal dari pengajian tersebut.
"Kalau memang pengajian Islam biasanya dipisah kan laki-laki dan perempuan, tetapi ini campur dan yang wanitanya lepas kerudung."
"Cara salam mereka bukan assalamualaikum, tetapi damai sejahtera. Pokoknya banyak kalimat yang janggal, seperti alhamdulillah menjadi puji Tuhan semesta alam," ujar Ika.
Saat Ika menanyakan hal tersebut kepada ayahnya, Ika mendapat jawaban bahwa pengajian itu untuk semua umat agama dan bukan hanya agama Islam.
"Saat itulah, saya mulai bertanya-tanya karena pengajian itu jadi rutin di rumah. Saya setiap ada kajian tidak pernah mau di dalam, selalu nongkrong depan rumah karena takut diajak duduk bareng," ujar Ika.
Ika juga mengatakan kedua orangtuanya dan empat adiknya sudah tidak mau lagi melaksanakan shalat lima waktu. Kata Ika, keluarganya hanya ingin shalat ketika masuk musim Madinah atau pada bulan hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
Berpindah tempat tinggal demi Gafatar
Ika bercerita pada tahun 2013, keluarganya yang bergabung dengan Gafatar mulai diminta berpindah-pindah menjadi pengurus Gafatar di sejumlah lokasi.
Awalnya, keluarganya diminta pindah ke kantor Gafatar DPC II, Jalan Swadaya, Rawabebek, Jakarta Timur.
Keluarga Ika diminta untuk mengurus kantor DPC yang berstatus sewa tersebut. Rumah yang di Bekasi pun ditinggal begitu saja.
Beberapa bulan setelahnya, keluarganya kembali diminta pindah ke Bengkulu untuk mengurus kantor DPC di sana.
"Sempatlah Mbak memohon untuk tidak pergi ke Bengkulu mengikuti Gafatar dan kembali pada jalan Allah. Suasananya haru sekali dari saat mereka packing sampai setelah mereka pergi dengan taksi menuju perkumpulannya," ujar Ika.
Ika mengatakan, komunikasi dengan keluarganya masih lancar ketika mereka berada di Bengkulu. Komunikasi menjadi tersendat setelah keluarganya dipindahkan ke Papua.
Ika menduga hal ini karena mereka telah menjual semua handphone mereka. Ika mengatakan, keluarganya sama sekali tidak mau memberi tahu alamat lengkap mereka di Papua.
Ika jadi semakin kesulitan dalam melacak orangtua dan adiknya. Kini, Ika berencana untuk melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Bandung. Ika mengaku sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menemukan orangtua dan adik-adiknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.