Dari fakta sosial tersebut lalu muncul pertanyaan, bukankah hal yang wajar bahwa dalam setiap proyek pembangunan dan kebijakan publik, membutuhkan dukungan pemodal untuk merealisasikannya.
Kita dapat menjawabnya dengan memaparkan siapakah pihak yang dirugikan dan tidak mendapatkan akses di dalamnya.
Yang paling mudah untuk kita telusuri adalah warga Jakarta yang tidak saja miskin namun juga kelas menengah biasa yang hampir mustahil mendapatkan akses dalam memanfaatkan kebijakan tersebut.
Ketika harga properti terendah dengan luas bangunan sebesar 128 meter persegi dan luas tanah 90 meter persegi dijual seharga Rp 3,77 Miliar, berapa gelintir warga yang dapat menjangkaunya? (Kompas 7 April 2016).
Belum kemudian kita mendiskusikan bencana ekologis berupa ancaman banjir yang lebih besar akibat pelambatan arus sungai sebagai imbas reklamasi, rusaknya habitat pantai akibat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi hajat hidup komunitas nelayan, rusaknya tatanan ekologis dari daerah sekitar ketika pekerjaan pengurukan pasir dilakukan.
Karakter kebijakan yang kuat terindikasi hanya memenuhi kepentingan sektor privat dan memarjinalisasi keseluruhan kepentingan warga ini yang patut kita gugat.
Kekuasaan Predatorian
Terkait pertanyaan kedua, mengapa sebuah kebijakan cenderung mementingkan kelompok sosial tertentu dibandingkan lain, ini tidak bisa dilepaskan dari karakter kekuasaan yang eksis dan menyejarah.
Sebagai contoh, dugaan terjadinya praktik korupsi dan kolusi dalam kasus reklamasi Pantai Jakarta seperti telah disebutkan diatas memperlihatkan bahwa dalam konteks ekonomi-politik di Jakarta sebuah kebijakan tidak diambil dalam situasi yang free value (bebas nilai) dan free interest (bebas kepentingan).
Adanya indikasi penyuapan dalam kasus di atas memperlihatkan watak kekuasaan yang berkarakter oligarkhi predatoris. Pola kekuasaan yang bercirikan hubungan kuasa yang memberi ruang luas bagi konsentrasi antara otoritas kekuasaan dan kemakmuran beserta dengan segenap pertahanan kolektifnya.
Dalam konstruksi politik di Indonesia, penguasaan atas institusi publik masih menjadi sarana utama bagi praktik pencarian rente para birokrat dan politisi, maupun cara mengakumulasi, merawat dan mempertahankan kemakmuran bagi kalangan pebisnis.
Dalam corak kekuasaan yang kolutif dan koruptif seperti di atas maka tidaklah mengherankan ketika sebuah kebijakan publik secara vulgar cenderung melayani kepentingan privat daripada kepentingan kolektif rakyat sebagai warga negara.
Ketika kita berhadapan dengan karakter kekuasaan yang secara sistemik koruptif dan predatorian lebih memperhatikan agenda publik sebelum membicarakan figur.
Agenda tersebut adalah mengontrol dan menggugat karakter kekuasaan yang tidak melayani kepentingan warganya.
Buang semua kepercayaan ilusif bahwa kondisi politik kita akan menjadi lebih baik, bersih dan demokratis hanya dengan menyerahkan urusan-urusan publik kita pada figure pemimpin.