Tak sampai 24 jam, siang hari, seseorang yang tidak dikenal menghubungi melalui sambungan telepon.
"Bawa teman lo sekarang ke rumah sakit. Gue yang jamin dia bisa masuk sekarang juga," suara di seberang telepon memberi perintah. Lidah saya kelu.
Saat itu juga kami membawanya ke rumah sakit. Orang tak dikenal itu sudah menunggu di sana. Sosoknya tinggi besar. Gendut. Tak rupawan wajahnya, tapi hatinya mulia. Ia pula yang bergegas mencari infus naik ojek saat perawat menyodorkan resep siang itu.
Kondisi teman saya memang sungguh buruk. Ada radang di kepalanya. Malam hari itu juga dokter memutuskan operasi untuk mengeluarkan cairan yang memenuhi kepalanya.
Teman saya kini menjalami masa pemulihan pascaoperasi. Tanpa orang tak dikenal itu, teman saya masih terkapar di rumah.
Motor mati
Cerita lain saya alami sepulang kantor lewat tengah malam. Mendadak, motor saya mati di tengah jalan. Bukan habis bensin. Ada masalah di mesin.
Cilaka betul, jarak rumah saya masih sekitar 20 km. Cilaka yang lain, telepon selular saya mati karena habis baterai. Tak mungkin berkontak untuk mencari bantuan.
Tak punya ide mesti bagaimana, saya pun jalan kaki sambil mendorong motor. Tak sampai lima menit, sebuah sepeda motor berhenti tak jauh di depan saya.
"Saya bantu dorong, Pak, pakai kaki. Siapa tahu ada bengkel di depan," lelaki di atas sepeda motor itu menawarkan bantuan.
Dengan senang hati saya menerima tawarannya. Saya pesimis bakal menemukan bengkel di depan. Jarum jam di pergelangan tangan saya menunjuk angka 02.00.
Sekitar 3 km perjalanan, ada bengkel buka di pinggir jalan. Lelaki penolong saya itu melambaikan tangan untuk pamit begitu saya memarkirkan motor di depan bengkel.
Malam itu saya "selamat" pulang sampai rumah tanpa harus mendorong motor sejauh 20 km.
Di benak saya, malaikat bukan lagi sosok bersayap, cemerlang, dan rupawan. Ia adalah the good samaritan, orang yang hadir bagi sesama. Man for others, kata-kata yang selalu diulang almarhum JIG Maria Drost, mantan kepala sekolah saya dulu.
Jiwa seorang malaikat tak dibatasi oleh kenal atau tidak kenal. Empati tak mengenal batas suku, agama, atau golongan. Empati adalah bahasa universal manusia.
Di belantara Jakarta yang keras, malaikat tanpa sayap itu ada berkeliaran di sekitar kita. Bisa jadi itu Anda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.