Malaikat. Apa yang Anda bayangkan tentang sosoknya? Mahluk rupawan bersayap dengan aura tubuh cemerlang?
Waktu kecil saya pun membayangkannya begitu. Terlalu absurd membayangkan sosok yang tak pernah kita lihat wujudnya itu.
Belakangan saya bertemu dengannya tidak dalam rupa demikian. Tidak ada sayap di punggungnya. Wajahnya tidak cemerlang, apalagi rupawan. Yang cemerlang dan rupawan adalah hatinya.
Suatu hari, lewat tengah malam, saat melintas di Jalan Prof. Satrio, Jakarta, saya melihat ada banyak orang berkerumun di sekitar mobil berwarna putih yang terperosok di sebuah selokan di jalur hijau, persis di depan ITC Kuningan.
Rupanya, mereka tengah berupaya mengeluarkan si pengemudi dari dalam mobil yang terperosok itu. Seorang lelaki berkebangsaan asing di balik kemudi terduduk lemas. Ia berhasil dikeluarkan dan dibawa ke rumah sakit terdekat dengan taksi.
Bagi pengemudi mobil naas tersebut, orang-orang yang menolongnya keluar dari mobil dan membawanya ke rumah sakit adalah para malaikat penolong.
Wiwin
Cerita lain yang menggetarkan hati adalah tentang Wiwin Harsani, seorang pengemudi Go-jek perempuan. Ia mengalami kecelakaan saat tengah mengantar penumpang di kawasan Blok M, Kebayorang Baru, Jakarta Selatan 28 Maret lalu.
Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghantamnya dengan keras. Wiwin tergeletak tak sadarkan diri. Kaki kirinya hancur.
Orang-orang di sana yang tidak mengenalnya mengantarkan Wiwin ke rumah sakit. Kaki Wiwin diamputasi akibat kecelakaan itu. Ia bercerita, sejumlah orang yang tak dikenalnya datang menjenguk.
Cerita tentang Wiwin kemudian menyebar di antara komunitas ojek berbasis aplikasi. Bantuan dana digalang dan mengalir baik dari komunitas Go-jek maupun Grab. Donasi yang dikumpulkan mencapai Rp 21 juta.
Minggu, 4 April, ratusan pengemudi Go-jek berbondong-bondong mengantarkan Wiwin pulang ke rumahnya. Mereka yang membantu Wiwin adalah malaikat-malaikat tak bersayap. Baca: Ketika Ratusan Pengemudi Go-Jek Mengawal Kepulangan Sang "Lady" Go-Jek
Teman yang sakit
Cerita serupa juga saya alami dalam pekan ini. Seorang teman terkapar tak berdaya di rumahnya. Bola matanya mendelik ke atas tanpa bisa ia kendalikan. Ia tak bisa diajak bicara. Mulutnya mengangga, tak mampu ia mengatupkannya. Seluruh bagian kepalanya kaku.
Keluarga tak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit. Kartu BPJS pun tak dipunya teman itu. Kabar buruk ini kami sampaikan ke teman-teman yang lain.
Tak sampai 24 jam, siang hari, seseorang yang tidak dikenal menghubungi melalui sambungan telepon.
"Bawa teman lo sekarang ke rumah sakit. Gue yang jamin dia bisa masuk sekarang juga," suara di seberang telepon memberi perintah. Lidah saya kelu.
Saat itu juga kami membawanya ke rumah sakit. Orang tak dikenal itu sudah menunggu di sana. Sosoknya tinggi besar. Gendut. Tak rupawan wajahnya, tapi hatinya mulia. Ia pula yang bergegas mencari infus naik ojek saat perawat menyodorkan resep siang itu.
Kondisi teman saya memang sungguh buruk. Ada radang di kepalanya. Malam hari itu juga dokter memutuskan operasi untuk mengeluarkan cairan yang memenuhi kepalanya.
Teman saya kini menjalami masa pemulihan pascaoperasi. Tanpa orang tak dikenal itu, teman saya masih terkapar di rumah.
Motor mati
Cerita lain saya alami sepulang kantor lewat tengah malam. Mendadak, motor saya mati di tengah jalan. Bukan habis bensin. Ada masalah di mesin.
Cilaka betul, jarak rumah saya masih sekitar 20 km. Cilaka yang lain, telepon selular saya mati karena habis baterai. Tak mungkin berkontak untuk mencari bantuan.
Tak punya ide mesti bagaimana, saya pun jalan kaki sambil mendorong motor. Tak sampai lima menit, sebuah sepeda motor berhenti tak jauh di depan saya.
"Saya bantu dorong, Pak, pakai kaki. Siapa tahu ada bengkel di depan," lelaki di atas sepeda motor itu menawarkan bantuan.
Dengan senang hati saya menerima tawarannya. Saya pesimis bakal menemukan bengkel di depan. Jarum jam di pergelangan tangan saya menunjuk angka 02.00.
Sekitar 3 km perjalanan, ada bengkel buka di pinggir jalan. Lelaki penolong saya itu melambaikan tangan untuk pamit begitu saya memarkirkan motor di depan bengkel.
Malam itu saya "selamat" pulang sampai rumah tanpa harus mendorong motor sejauh 20 km.
Jiwa seorang malaikat tak dibatasi oleh kenal atau tidak kenal. Empati tak mengenal batas suku, agama, atau golongan. Empati adalah bahasa universal manusia.
Di belantara Jakarta yang keras, malaikat tanpa sayap itu ada berkeliaran di sekitar kita. Bisa jadi itu Anda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.