JAKARTA, KOMPAS.com — Bau amis menyengat hidung saat masuk ke dalam perkampungan nelayan di Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Perahu nelayan terlihat berjejer, tak beraktivitas.
Kompas.com yang hendak melihat aktivitas reklamasi Pulau G menyewa salah satu perahu nelayan itu. Tarifnya Rp 300.000. Adalah Karul (31), salah seorang pemilik perahu nelayan, yang bersedia mengantar ke Pulau G.
Karul menyalakan mesin perahunya. Awalnya berjalan lancar. Namun, di tengah jalan, mesin perahu tersendat dan mati. Rupanya, baling-baling perahunya tersangkut sampah plastik.
"Trak...," mesin menyala.
Perahu kembali berjalan.
"Beginilah, Mas, banyak sampahnya. Jadi pada nyangkut," kata Karul di balik kemudi perahunya.
Perahu pun meluncur ke Teluk Jakarta.
Sepanjang perjalanan, sudah tiga kali mesin mati. Penyebabnya sama, baling-baling perahu tersangkut sampah. Di muara Kali Adem, memang banyak sampah plastik berserakan dan hanyut menuju muara.
Sampah plastik itu mulai dari ukuran kecil, seperti bekas bungkus makanan, hingga plastik berukuran besar berisi sampah.
Tepat di depan muara sungai, sampah lainnya juga terlihat. Kali ini sampah kayu dan ranting-ranting pohon itu tampak tersangkut.
Di atasnya biasanya ada burung bangau hinggap, kemudian kembali terbang. Keberadaan sampah itu juga menghambat sampah plastik lainnya. Namun, tak jarang sampah-sampah plastik itu hanyut hingga Teluk Jakarta.
Kalur bercerita bahwa sampah itu datang dari tengah Kota Jakarta. Sampah itu hanyut dan mengotori laut.
"Jadinya seperti nelayan dianggap buang sampah sembarangan, padahal itu dari kota," kata Karul.
Air laut coklat
Tak hanya sampah, Teluk Jakarta juga memiliki masalah lain. Keberadaan sampah dan lumpur yang terbawa membuat air Teluk Jakarta berwarna coklat. Sepanjang mata memandang di Teluk Jakarta, hanya ada air laut coklat.
Kalur mengungkapkan, masih ada ikan di sekitar pulau reklamasi dengan jumlah tak banyak. Padahal, di tempat pulau buatan itu dulu surga nelayan mencari ikan.
Berbagai ikan pun ada di Teluk Jakarta, mulai dari ikan sangge, ikan sembilang, ikan kakap, ikan guro, hingga ikan barracuda.
Nelayan hanya perlu melempar jaring atau pancing, dalam waktu tiga jam maka satu hingga dua kuintal ikan langsung bisa dibawa pulang ke darat. Kini, nelayan harus pergi beberapa mil dari pulau reklamasi untuk sekadar mencari ikan.
Saat Kompas.com mengelilingi Pulau G, beberapa kali bertemu dengan para nelayan tradisional yang pulang melaut. Mereka datang dari arah timur dan menuju Kali Adem, Muara Angke.
Terkontaminasi
Anggota Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kuat, mengakui bahwa Teluk Jakarta sudah terkontaminasi. Namun, kontaminasi tersebut dengan kadar rendah.
Ikan yang ditangkap nelayan pun dijamin dapat dikonsumsi. Sebab, hingga saat ini tak ada konsumen yang teracuni dan berakibat fatal seusai memakan ikan hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta.
"Memang sedikit terkontaminasi, tapi harus cari solusi," kata Kuat.
Reklamasi pulau dianggap bukan sebagai solusi. Sebab, amdal pulau buatan itu pun tak jelas dan merusak ekosistem di sekitar.
Salah satu yang dianggap parah yakni soal pendangkalan laut. Efek pendangkalan laut pun kian terasa oleh nelayan lantaran perahunya kerap tersangkut atau terjebak di dekat pulau.
Pemerintah diharapkan untuk tegas terhadap reklamasi. Pembangunan pulau buatan itu dianggap bukan solusi masalah lingkungan di Teluk Jakarta yang rusak.