JAKARTA, KOMPAS.com — Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tetap berlaku meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan indikasi korupsi dalam proses pembelian tersebut.
Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap diwajibkan membayar uang kerugian negara sebesar Rp 191 miliar atas pembelian lahan RS Sumber Waras.
(Baca juga: Ketua DPR Lebih Percaya Audit BPK dalam Kasus RS Sumber Waras)
Harry menjelaskan, pengembalian itu merupakan amanat Pasal 23E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang bahwa hasil pemeriksaan BPK tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan undang-undang.
Berdasarkan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap harus menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 yang telah diterbitkan BPK.
"Ya itu kan ada indikasi kerugian negara yang ditulis di dalam laporan Rp 191 miliar. Nah, itu harus dikembalikan," Kata Harry di Kompleks Gedung BPK, Jakarta, Senin (20/6/2016).
Menurut dia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengembalikan kerugian tersebut paling lambat enam puluh hari setelah laporan diterbitkan.
"Di UU 60 hari. Sekarang sudah lewat 60 hari. Sanksinya bisa dipenjara satu tahun enam bulan," ucap Harry.
Namun, Harry menegaskan, siapa yang bertanggung jawab akan kerugian tersebut secara hukum menjadi tanggung jawab penegak hukum.
Ia mengatakan bahwa BPK adalah lembaga yang menegakkan hukum administrasi keuangan, bukan hukum pidana.
Bagai buah simalakama
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, Pemprov DKI tidak bisa melaksanakan rekomendasi audit BPK terkait RS Sumber Waras.
Sebab, menurut dia, Pemprov DKI harus menarik kembali uang yang sudah diberikan kepada pengelola RS Sumber Waras apabila harus mengembalikan kerugian tersebut.
Jika demikian, kata Basuki, Pemprov DKI yang terancam digugat. (Baca juga: Ahok Tolak Kembalikan Rp 191 Miliar yang Diminta BPK sebagai Kerugian Negara)
"Sekarang kamu bilang kita pakai NJOP yang salah, dia bisa gugat kami enggak? Kan kalau dia pakai NJOP yang salah, berarti negara ngutang ke Sumber Waras, dong," ujar pria yang akrab disapa Ahok di Jakarta Convention Center, Selasa (21/6/2016).
Begitupun masalah alamat lahan. Jika mengikuti audit BPK, maka alamat lahan yang dibeli Pemprov DKI berada di Jalan Tomang Utara.
Padahal, BPN Jakarta Barat dan sertifikat tanah menunjukkan bahwa lahan itu berada di Jalan Kyai Tapa.
"Dia bisa gugat BPN dong nanti. Nanti BPK malah bisa nyenggol semua nih, kalau ikutin pakai auditnya oknum BPK kemarin," ujar dia.
"Ini mah hasil audit kayak buah simalakama, dong. Makan, bapak mati; enggak makan, emak mati. Lucu saja. BPK kalau ngomong seperti itu, hasil auditnya dia bukan hanya tabrakan dengan KPK, tetapi juga tabrakan dengan BPN," tambah Ahok.
Hal senada disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Ia menilai, permintaan BPK agar Pemerintah Provinsi DKI membayarkan uang Rp 191 miliar atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seperti "skak ster".
(Baca juga: Rekomendasi BPK soal Dana Rp 191 Miliar Sumber Waras Dinilai seperti "Skak Ster")
Istilah dalam permainan catur itu digunakan Djarot untuk menggambarkan situasi serba salah yang tengah dihadapi.
Sebab, jika dibayarkan, kata dia, maka hal itu sama saja mengakui bahwa proses pembelian lahan tersebut menimbulkan kerugian negara.
"Rekomendasinya kalau main catur ‘skak ster’ gitu ya. Kembaliin atau batalin. Artinya enggak ada pilihan," kata Djarot.
Oleh karena itu, Djarot berharap ada kajian matang terkait hal tersebut. "Kalau kembalikan duitnya dari mana? Itu kan, saya paham itu. Maka itu, marilah, kita kaji betul," ujar Djarot.
Tidak akan gugat
Meski demikian, Ahok mengatakan, dia tidak akan menggugat BPK. Sebab, hasil audit BPK sendiri tidak bisa dituntut.
Hal yang bisa dilalukan Ahok adalah mengirim surat ke Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK. Ahok mengaku sudah mengirimkan surat ke MKKE beberapa bulan lalu.
"Tapi sampai hari ini enggak dipanggil. Itu BPK betul enggak bisa dituntut? Kalau kita enggak puas, bukan tuntut dan bukan lapor ke pengadilan, melainkan mengirim ke Makamah Kode Etik. Itu juga sudah saya lakukan, dan itu enggak ditanggapi toh," ujar dia.
(Baca juga: Pimpinan Komisi III Tantang KPK-BPK Terbuka Adu Data soal Sumber Waras)