Juga terdapat tritisan di bagian depan, khas rumah tropis. Kini, genteng dan tritisan tidak ada. Daun jendela yang terbuat dari kayu pun kini berganti kaca. Bagian depan bangunan yang sebelumnya terbuka kini ditutup oleh pintu kaca.
Rumah itu, menurut Tri yang menyusun disertasi berjudul Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1999, didirikan oleh seorang arsitek Belanda. Karena bencana alam, rumah itu rusak dan dibangun kembali dan dimiliki oleh Lauw Tek Tjiong, saudagar Tiongkok yang kemudian mewariskannya kepada anaknya, Lauw Tjeng Shiang, seorang kapitan Tiongkok.
Di sekitar rumah itulah para pedagang Tiongkok tinggal. Pada awalnya ada lima keluarga yang tinggal di sana. Tuan tanah Kampung Bojong saat itu adalah orang Tiongkok dan tidak berkeberatan didirikan pondok-pondok di sana. Komunitas orang Tiongkok ini kemudian mendirikan tempat ibadah di kawasan Srengseng (kini Lenteng Agung).
Dibatasi
Ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein Ferdy Jonathans, yang juga keturunan komunitas Belanda Depok, mengatakan, saat didatangkan ke Depok, budak-budak itu tidak mengetahui apa-apa, termasuk mereka ada di mana dan akan melakukan apa. "Setelah itu, para pendahulu kami diisolasi dari pengaruh luar. Tidak boleh bergaul dengan siapa pun di luar komunitas, termasuk orang-orang Tiongkok, karena katanya tidak baik," ungkapnya.
Salah seorang warga asli Betawi, Jaya Kasawilaga (69), mengatakan, kawasan Pondok Cina, berdasarkan penuturan secara lisan oleh ayah dan kakeknya, memang dahulu dihuni oleh para pedagang dari Tiongkok. Ia bahkan mengatakan, dahulu rumah tua itu berukuran lebih panjang ke arah belakang.
"Di sekitarnya dulu masih banyak pondok dan rumah warga asli Betawi, tetapi sekarang sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Rumah-rumah asli Betawi sudah diganti dengan bangunan beton semua," tuturnya.
Terakhir, Januari 2016, rumah tua itu masih difungsikan sebagai kafe oleh Old House Café yang memanfaatkan suasana tempo dulu di gedung tersebut. Namun, kini gedung itu kosong. Di bagian dalam masih tersisa kursi-kursi kafe ditumpuk di satu sudut, tetapi nyaris tak ada aktivitas.
Marcomm and Event Manager Margo City Rani Fitriawati T mengemukakan, selama pembangunan hotel, aktivitas di Old House dihentikan sementara. Ia memastikan pihak manajemen tetap menjaga struktur bangunan asli.
Pihak manajemen mal juga membuka kesempatan bagi warga yang ingin melihat rumah itu dengan mengajukan izin sebelumnya. Ada komunitas yang rutin mengadakan tur cagar budaya bersama wisatawan berkeliling ke cagar budaya yang ada di Kota Depok, termasuk rumah tua Pondok Cina.
"Ke depan, konsep pemanfaatan rumah tua ini masih dibicarakan. Tetapi, komitmen kami adalah tetap menjaga rumah tua sebagai cagar budaya dan salah satu ikon Depok," tuturnya.
Sebelumnya, gabungan beberapa komunitas di Kota Depok mendesak pemerintah kota itu untuk melindungi keberadaan bangunan cagar budaya di wilayahnya. Hal itu setidaknya bisa dimulai dengan menginventarisasi bangunan cagar budaya yang masih ada di Depok dan menerbitkan instrumen hukum untuk melindunginya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 27 dengan judul "Membongkar Kisah Lalu Pondok Tjina".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.