"Harga kancil terlalu mahal, satu unit Rp 42 juta, sedangkan bajaj sekitar Rp 14 juta hingga Rp 16 juta per unit," ujarnya. (Kompas, 24 Juni 2004)
Keunggulan secara ekonomi inilah yang membuat bajaj tetap diminati dan bertahan. Seperti halnya becak, jumlah moda ini terus bertambah, bahkan pemerintah membatasi jumlah tak lebih dari 15.000 unit. Pada 1990, Pemprov DKI mencatat 14.623 unit. Jumlahnya diklaim dinas perhubungan masih 14.424 unit tahun 2014.
Pemprov DKI pun akhirnya mempertahankan bajaj, tetapi mendorong pengalihan bahan bakar dari minyak ke gas untuk menekan polusi. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jumlah bajaj berbahan bakar gas bertambah dari 2.755 unit tahun 2012 menjadi 6.197 unit tahun 2014. Sebaliknya, bajaj berbahan bakar minyak berkurang dari 11.509 unit menjadi 8.183 unit pada kurun yang sama.
Tuntutan-tantangan
Aldo (34), pengemudi bajaj yang biasa mangkal di Stasiun Cikini, menyatakan, sejak beralih dari bajaj berbahan bakar minyak ke gas, dirinya merasa lebih nyaman dalam berkendara. "Kendaraan lama berisik dan bergetar. Sekarang sudah empat tak (berbahan bakar gas), jadi lebih mulus, lebih irit," ujarnya.
Menurut Aldo, kebutuhan bahan bakar gas rata-rata hanya Rp 25.000 untuk operasi pukul 07.30 hingga 20.00. Sebelumnya, ketika masih memakai bajaj oranye (berbahan bakar minyak), dia mengeluarkan Rp 60.000 untuk membeli premium.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah dalam sejumlah kesempatan menyatakan, pihaknya menargetkan pengalihan bajaj berbahan bakar minyak ke gas selesai tahun ini. Dinas mengimbau pengusaha menjual bajaj lama untuk membeli bajaj baru dengan mekanisme izin penggantian. Andri mengancam bakal terus menilang bajaj oranye yang kedapatan beroperasi di jalanan.
Selain tuntutan berubah ke gas, pengusaha bajaj harus beradu dengan angkutan berbasis aplikasi beberapa tahun terakhir. Kemunculan angkutan berbasis aplikasi membuat persaingan semakin sengit.
Budianto (45), sopir bajaj yang biasa mangkal di kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, menyatakan, jumlah penumpang yang diangkut paling banyak 15 penumpang per hari. Padahal, dia rata-rata bekerja 15 jam per hari hingga pukul 21.00. Sebelum ojek aplikasi muncul, dia bisa mendapatkan hingga 30 penumpang dalam sehari. "Dulu, penumpang yang cari bajaj. Sekarang, bajaj yang cari penumpang," ujarnya.
Selain menambah waktu kerja, pengemudi bajaj harus pintar mengatur jadwal agar operasi efektif. Budianto, misalnya, biasa beroperasi di Stasiun Tanah Abang pukul 07.00 hingga 09.00. Setelah itu, dia memilih untuk beristirahat hingga jam makan siang.
Widya (27), wiraswastawan pengguna bajaj, mengatakan, dirinya masih tertarik memilih bajaj untuk bepergian jarak dekat. Harga yang masih bisa ditawar juga jadi alasan dia menggunakan moda transportasi tersebut.
Seperti moda angkutan konvensional lain, bajaj di Ibu Kota tengah menghadapi ujian berat hukum alam ala Darwin, survival of the fittest. Siapa yang kuat, dialah yang menang.
(C04)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2016, di halaman 28 dengan judul "Empat Dasawarsa Angkutan Keempat".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.