Dia tidak akan segan menegur, bahkan mengajak berkelahi orang yang membuang sampah sembarangan ke kali. Tanpa basa-basi, Singo menyebut tindakan itu sebagai kejahatan, bahkan pantas dihukum mati. ”Makanya, saya tidak tenang kalau meninggalkan kali terlalu lama. Nanti ada saja yang buang sampah sembarangan,” kata Singo.
”Saya percaya, kalau kita baik dengan alam, alam juga akan berbuat baik pada kita. Begitu juga sebaliknya. Jadi, kalau saya sedang membersihkan sungai, masak akan dihanyutkan juga oleh alam, he-he-he...,” ujar Singo seraya berkelakar.
Singo tinggal di sebuah rumah sederhana dua lantai di tepi Kali Pesanggrahan. Bertahun-tahun beraktivitas di sekitar sungai, membuat Singo belajar cara membaca gejala alam. Misalnya saja, jika dia melihat burung sriti yang biasa bersarang di bawah jembatan Jalan Bandung perbatasan Cinere, Depok, dan Jakarta Selatan berkeliaran di pohon menjelang gelap, biasanya debit sungai akan meningkat pada malam harinya.
”Alam itu banyak memberikan kita pelajaran,” ujar Singo.
Meskipun mungkin belum segigih Babe dan Singo, juga ada Amsori (65), pemrakarsa Satgas Danau Cavalio yang juga Ketua RT 015 RW 001 Kelurahan Pesanggrahan. Danau Cavalio buatan di tepi Pesanggrahan berdekatan dengan kompleks makam Tanah Kusir.
”Awalnya, aliran kalinya berbelok lalu disodet dan jadi danau ini. Danau ini ada mata airnya, jadi tidak pernah kering. Air dari danau bisa mengalir ke kali karena ada klep pintu. Tapi dari kali tidak bisa masuk ke danau,” katanya.
Wagino, wakil RW 001 yang juga bendahara Satgas Danau Cavalio, menambahkan, warga yang bergabung dalam satgas berupaya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan danau. ”Kami menanam dengan sukarela pohon-pohon dan bunga-bunga yang ada di sini. Saya menyediakan karung-karung plastik untuk warga atau pengunjung danau membuang sampah. Lalu, saya pribadi mengupah tukang angkut sampah ke TPA,” katanya.
Optimalkan partisipasi
Nirwono Joga, arsitek lanskap dan juga penggerak Peta Hijau, mengatakan, sungai merupakan sumber kehidupan dan peradaban. Pengelolaan terhadap sungai bisa menjadi tolok ukur kemajuan peradaban kota, sedangkan kondisi sungai mencerminkan cara pandang warga dan pemerintah setempat terhadap sungai di wilayah mereka.
Ironisnya, 13 sungai di Jakarta yang seharusnya menjadi potensi luar biasa selama ini terabaikan. Saat Asia Pacific Urban Forum (APUF) Ke-6 di Jakarta akhir 2015, Direktur Program Studi Pembangunan University of the South Pacific di Fiji Profesor Vijay Naidu berpendapat, salah satu cara membangun kota yang memanusiakan manusia adalah dengan mengoptimalkan partisipasi warga. Aspirasi semua warga diserap dan tidak ada yang merasa ditinggalkan.
Apa yang disampaikan Vijay relevan dalam konteks pengelolaan sungai di Jakarta. Saatnya pemerintah aktif merangkul para jawara lingkungan yang tanpa pamrih itu untuk gerakan masif menata ulang Jakarta.
(RATIH P SUDARSONO/HARRY SUSILO/HARYO DAMARDONO/ NELI TRIANA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Kisah Para Jawara Penjaga Kali".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.