Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Emosi "Vis a vis" Masyarakat Kritis

Kompas.com - 20/10/2016, 14:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Iklim Pilkada secara tidak langsung menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempunyai karakter sebagai masyarakat yang emosional ketimbang menjadi masyarakat yang kritis dan cerdas.

Tulisan ini ingin menguatkan pendapat M Zaid Wahyudi pada tulisannya yang berjudul Saat Menilai dengan Emosi (Kompas, 9/10/2016). 

Emosi yang muncul pada masyarakat Indonesia seraya membuktikan bahwa masyarakat Indonesia secara mayoritas masih malas dalam melakukan proses nalar dan melakukan identifikasi dari sebuah permasalahan yang muncul berkembang di masyarakat.

Mayoritas masyarakat Indonesia seakan-akan teracuni oleh junk-opinion yang disuburkan oleh perilaku Sparta bersurban dan tentunya menghadirkan embrio psikopat dalam berpikir. 

Tentunya sekali lagi secara subyektif, saya dapat mengatakan bahwa agama tentu tidak pernah menjadi keyakinan yang salah, akan tetapi perilaku menakutkan dari gejala psikopat yang ditumbuhkan oleh “beberapa” kaum bersurban bahkan pendeta atau biksu sekalipun adalah sesuatu yang memberikan ruang hampa buat nurani kita.

Lover versus hater

M Zaid Wahyudi mengatakan bahwa bermula pada kasus Pemilu 2014 hingga Pilkada DKI sekarang ini, suburnya kelompok”lover versus hater” terbentuk secara alamiah di tengah-tengah kaum muda menengah.

Cara berpikir “lover dan hater” menyiratkan bahwa dialektika dalam politik beberapa kaum muda menengah tumbuh secara sensitif dan tidak berdasarkan pada nalar kritis dari sebuah pengetahuan yang terbangun secara mapan. 

Pendukung dalam hal ini sebagai “lover” melakukan pembelaan mati-matian tanpa tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Mereka menjelaskan dukungannya.

Perilaku seperti ini adalah perilaku yang ditunjukkan dalam pepatah arab sebagai “ainurridhaa an kulli aibin kalillah”, di mana pandangan pemujian secara total terhadap sesuatu meminggirkan kesalahan-kesalahan yang ada pada sesuatu itu pula.

Begitu juga yang penolak dalam hal ini sebagai “hater” melakukan kampanye yang secara vulgar menyerang pada sesuatu yang ia benci. Perilaku “hater” ternyata juga digambarkan dalam sebuah kata yang dinukilkan dari sebuah pepatah arab sebagai “ainussukhti” dimana satu titik hitam diantara kertas putih menjadi sebuah aib yang menjadi fokus wacana kebencian.

Hingar-bingar saling serang menyerang antara “lover dan hater” seakan-akan ingin dijadikan budaya anti terhadap etika-etika berpolitik didukung dengan pemarginalan terhadap analisa substantif oleh beberapa kaum muda menengah di bawah alam sadarnya. 

Miskin perenungan kritis

Apa yang dilakukan oleh mayoritas kaum muda menengah sekarang ini menunjukkan penyakit sosial akut yang disebut miskin perenungan kritis. Ketegasan yang tetap rendah hati dalam melakukan kritik bergeser dan menjadikan agama dan jargon moral sebuah ekspresi gaduh tanpa akhlak mulia dan pengetahuan.

Semua pesantren di seantero bumi pertiwi ini telah sepakat mendudukkan akhlak mulia di atas segala-galanya. Setelah akhlak mulia kemudian, sosok insan yang beragama seharusnya menempatkan pengetahuan yang luas di bawah akhlak mulia itu sendiri.

Inilah mengapa beberapa tahun yang lalu Jalaluddin Rakhmat (tanpa melihat simbolitas syiah-nya) sempat membuat sebuah buku yang berjudul “Dahulukan Akhlak di atas Fiqih”. Pengetahuan yang luas harus dibekali dengan akhlak mulia yang mapan, begitulah pesan Kang Jalal.

Perenungan kritis ini selalu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang mendahulukan akhlak di atas pengetahuannya sendiri. Sosok seperti Musthafa Bisri, Emha Ainun Nadjib dan banyak tokoh agama bijak lainnya melakukan perenungan tersebut dengan memperhatikan identifikasi-identifikasi simbolik-substantif kemudian dijadikan pendapat-pendapat yang tidak melukai siapapun. Mengapa?

Mereka melakukan perenungan kritis tersebut untuk melakukan harmonisasi terhadap nilai kritis yang dibangun dan kemudian dieksplorasikan dengan nurani tanpa kegaduhan yang mencederai.

Berbeda dengan “beberapa” kaum bersurban dan “beberapa” kaum menengah yang baru belajar agama di mana mereka seakan-akan dangkal dalam sensitivitas etis dan melahirkan kondisi yang surplus akan kegaduhan.

Inilah yang dikatakan oleh Yudi Latif dalam tulisannya “Berpolitik Dalam Sunyi” bahwa nama Tuhan kerap diseru, tetapi Tuhan sendiri sebagai manifestasi kebenaran, keindahan, dan keadilan tertinggi telah lama menghilang, terusir oleh kedangkalan dan kegaduhan (Kompas, 19/10/09).

Harapan Masyarakat kritis

Masyarakat kritis secara ideal adalah masyarakat yang melakukan otokritik berdasarkan akhlak mulia dan pengetahuan yang mendalam. Dalam kasus berpolitik, lebih khususnya Pemilu dan Pilkada, masyarakat kritis mengoksploresi daya nalarnya terhadap identifikasi-identifikasi masalah, melakukan sistemasi terhadap geo-politik secara keseluruhan yang tidak terpisah dan melahirkan analisis beserta solusi yang berdasarkan daya nalar dan sistematika berfikir.

Iklim Pilkada DKI contohnya, sebenarnya iklim pilkada DKI merupakan pertarungan manajerial yang sedang berlangsung. Bagaimanapun juga iklim pilkada DKI bukanlah pertarungan agama yang sedang berlangsung. Kekhawatiran kaum sparta bersurban sehingga melakukan demonstrasi besar-besaran dengan jargon yang menakutkan sebagai implementasi aksi, merupakan kekhawatiran yang tidak didasarkan pada tawaran solutif manajerial dari persoalan kompetensi kepemimpinan. 

Agama sebagai tata nilai yang tidak kacau seharusnya menghadirkan “akhlak mulia” sebagai otokritik terhadap kepemimpinan Basuki Thahaja Purnama. Akhlak mulia yang tentunya dapat dieksplorasi sebagai kepemimpinan yang santun tanpa menghilangkan sisi ketegasan dan kewibawaan dari sebuah kepemimpinan itu sendiri.

Basuki Tjahaja Purnama misalnya memiliki masalah terhadap etika-etika ketegasan politik yang dihadirkan secara vulgar dan kasar. 

Pandji Pragiwaksono secara santun menjelaskan secara gamblang bahwa Basuki Thahaja Purnama dalam perspektif kepemimpinan rentan akan melahirkan perpecahan terhadap persatuan nasional apabila tidak mampu berubah secara karakter kepemimpinan.

Maka, secara premis, persoalan Basuki Tahaja Purnama alias Ahok sebagai pemimpin bukanlah persoalan jargon keyakinan dan agama apalagi penistaan agama itu sendiri, akan tetapi lebih pada soal karakter kepemimpinan yang seharusnya tidak sering melukai beberapa pihak. 

Di sisi lain, kaum muda menengah yang sedang terjebak dengan pemetaan konflik “lover dan hater” seharusnya melahirkan pendapat-pendapat dan gagasan yang lebih solutif serta mendasarkan gagasan tersebut pada identifikasi persoalan secara sistematik, menghadirkan pengetahuan manajerial, dan mengeksplorasi analisanya secara mapan yang tidak gaduh dan kasar.

Bagaimanapun juga, otokritik yang berdasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah saya paparkan dengan mengakui secara eklektik pekerjaan yang telah dilakukan oleh calon petahana merupakan contoh bagaimana melakukan otokritik terhadap petahana tanpa harus sama-sama dari pihak pendukung dan lawan menistakan akhlak mulia. Bukankah akhlak mulia merupakan tujuan tertinggi sebuah nilai religius itu sendiri?

Bukankah ketika kita menistakan akhlak mulia dalam melakukan kritik, maka secara tidak langsung kita menistakan agama itu sendiri?

Wallahu-a’lam bishshawab. Wallahul muwwafiq billahi ilaa aqwaami thariq. Wabillahi taufiiq wal-hidayah. Wassalam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Datangi Sekolah, Keluarga Korban Kecelakaan Maut di Ciater: Saya Masih Lemas...

Datangi Sekolah, Keluarga Korban Kecelakaan Maut di Ciater: Saya Masih Lemas...

Megapolitan
Soal Peluang Usung Anies di Pilkada, PDI-P: Calon dari PKS Sebenarnya Lebih Menjual

Soal Peluang Usung Anies di Pilkada, PDI-P: Calon dari PKS Sebenarnya Lebih Menjual

Megapolitan
Polisi Depok Jemput Warganya yang Jadi Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Polisi Depok Jemput Warganya yang Jadi Korban Kecelakaan Bus di Ciater

Megapolitan
Warga Sebut Suara Mobil di Sekitar Lokasi Penemuan Mayat Dalam Sarung Terdengar Pukul 05.00 WIB

Warga Sebut Suara Mobil di Sekitar Lokasi Penemuan Mayat Dalam Sarung Terdengar Pukul 05.00 WIB

Megapolitan
Pria Dalam Sarung di Pamulang Diduga Belum Lama Tewas Saat Ditemukan

Pria Dalam Sarung di Pamulang Diduga Belum Lama Tewas Saat Ditemukan

Megapolitan
Penampakan Lokasi Penemuan Mayat Pria dalam Sarung di Pamulang Tangsel

Penampakan Lokasi Penemuan Mayat Pria dalam Sarung di Pamulang Tangsel

Megapolitan
Warga Sebut Ada Benda Serupa Jimat pada Mayat Dalam Sarung di Pamulang

Warga Sebut Ada Benda Serupa Jimat pada Mayat Dalam Sarung di Pamulang

Megapolitan
Soal Duet Anies-Ahok di Pilkada DKI, PDI-P: Karakter Keduanya Kuat, Siapa yang Mau Jadi Wakil Gubernur?

Soal Duet Anies-Ahok di Pilkada DKI, PDI-P: Karakter Keduanya Kuat, Siapa yang Mau Jadi Wakil Gubernur?

Megapolitan
Warga Dengar Suara Mobil di Sekitar Lokasi Penemuan Mayat Pria Dalam Sarung di Pamulang

Warga Dengar Suara Mobil di Sekitar Lokasi Penemuan Mayat Pria Dalam Sarung di Pamulang

Megapolitan
Bungkamnya Epy Kusnandar Setelah Ditangkap Polisi karena Narkoba

Bungkamnya Epy Kusnandar Setelah Ditangkap Polisi karena Narkoba

Megapolitan
Polisi Cari Tahu Alasan Epy Kusnandar Konsumsi Narkoba

Polisi Cari Tahu Alasan Epy Kusnandar Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Epy Kusnandar Terlihat Linglung Usai Tes Kesehatan, Polisi: Sudah dalam Kondisi Sehat

Epy Kusnandar Terlihat Linglung Usai Tes Kesehatan, Polisi: Sudah dalam Kondisi Sehat

Megapolitan
Usai Tes Kesehatan, Epy Kusnandar Bungkam Saat Dicecar Pertanyaan Awak Media

Usai Tes Kesehatan, Epy Kusnandar Bungkam Saat Dicecar Pertanyaan Awak Media

Megapolitan
Polisi Selidiki Penemuan Mayat Pria Terbungkus Kain di Tangsel

Polisi Selidiki Penemuan Mayat Pria Terbungkus Kain di Tangsel

Megapolitan
Polisi Tes Kesehatan Epy Kusnandar Usai Ditangkap Terkait Kasus Narkoba

Polisi Tes Kesehatan Epy Kusnandar Usai Ditangkap Terkait Kasus Narkoba

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com