JAKARTA, KOMPAS.com - Pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta menemukan dan menerima laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Pandangan Bawaslu mengenai dugaan pelanggaran ini tak selamanya sejalan dengan pendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.
Ada sejumlah hal yang dianggap Bawaslu sebagai dugaan pelanggaran, tetapi kemudian menurut KPU DKI tidak demikian.
Pertama, terkait dengan program Rp 1 miliar per RW yang dicanangkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur nomor pemilihan satu, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.
Bawaslu DKI Jakarta menyatakan program tersebut sebagai dugaan pelanggaran administrasi.
Sebab, rencana program Rp 1 miliar per RW tersebut tidak tercantum dalam visi dan misi yang dilaporkan Agus-Sylvi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.
"Apa yang disampaikan Pak Agus saat itu tidak tercatat dalam visi misi. Kami duga ada dugaan pelanggaran administrasinya. Maka, dugaan itu kami teruskan pada KPUD. Sanksinya kami serahkan pada KPUD," kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti, Kamis (1/12/2016).
(Baca juga: Program Rp 1 Miliar Per RW Agus-Sylvi Dinyatakan sebagai Pelanggaran Administrasi)
KPU DKI kemudian mengkaji dugaan pelanggaran administrasi dalam program Rp 1 miliar per RW milik Agus-Sylvi tersebut.
KPU DKI juga mengundang tim Agus-Sylvi. Tim itu kemudian menjelaskan bahwa program Rp 1 miliar per RW termasuk ke dalam visi misi yang telah disampaikan secara umum.
Setelah dikaji, KPU DKI menyatakan program tersebut bukan pelanggaran administrasi.
"Bawaslu mengategorikan ini sebagai pelanggaran administrasi, tapi (program) ini tidak termasuk pelanggaran," kata Ketua KPU DKI Sumarno, Selasa (6/12/2016).
(Baca juga: KPU DKI Pastikan Program Rp 1 Miliar Per RW Milik Agus-Sylvi Bukan Pelanggaran Administrasi)
Laporan Nasdem
Kedua, perbedaan pandangan Bawaslu dan KPU DKI terkait dengan DPW Partai Nasdem DKI Jakarta yang melaporkan calon wakil gubernur DKI, Sandiaga Uno, ke Bawaslu DKI.
Laporan tersebut terkait sikap Sandi yang menghadiri deklarasi dukungan 10 kader Partai Nasdem terhadap pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, pada Selasa (27/12/2016) lalu.
Mereka bahkan menjanjikan 300.000 dukungan untuk Anies-Sandi yang berasal dari kader dan simpatisan Partai Nasdem lainnya.
(Baca juga: Sandiaga Bantah Berlaku Tidak Etis terhadap Partai Nasdem)
Penggunaan nama Partai Nasdem begitu kental dalam deklarasi itu. Spanduk kegiatan itu bahkan menggunakan nama "Deklarasi Nasdem Tingkat Kecamatan dan Kelurahan se-Jaktim Dukung Anies-Sandi".
Karena deklarasi tersebut, Partai Nasdem sudah menonaktifkan 10 kadernya yang mendukung Anies-Sandi itu.
Sikap kader tersebut tidak sejalan dengan sikap resmi Nasdem yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.
(Baca juga: Buntut Dukungan Segelintir Kader Nasdem untuk Anies dan Sandiaga...)
Bawaslu DKI Jakarta telah menerima laporan dari DPW Partai Nasdem DKI dan menyebut ada dugaan pelanggaran administrasi terkait masalah ini.
Namun, Bawaslu DKI belum menyampaikan alasan mereka menyebut adanya dugaan pelanggaran administrasi dalam deklarasi tersebut.
"Sudah keluar, status laporan dugaan pelanggaran administrasi," kata Mimah, Senin (2/1/2017).
Namun, Komisioner KPU DKI Jakarta Dahliah Umar menilai, deklarasi kader Partai Nasdem tersebut sebagai konflik internal partai.
"Kalau ini kaitannya dengan dukungan partai, saya kira tidak terkait dengan aturan penyelenggaraan pilkada, ini soal masalah konflik internal partai di tubuh satu partai pengusung," ujar Dahliah, Selasa (3/1/2017).
Dahliah menyebut dukungan kader tersebut sebagai dukungan politis dan moril.
(Baca juga: Laporannya Dimentalkan KPU DKI, Nasdem Akan Lapor ke DKPP)
Deklarasi tersebut tidak mengubah dukungan administratif Partai Nasdem terhadap pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang telah ditetapkan KPU DKI.
Oleh karena itu, Dahliah mengimbau sebaiknya persoalan tersebut diselesaikan secara internal di tubuh Partai Nasdem sendiri.
"Kalau memang ada sanksi terhadap struktur di partai politik yang tidak sesuai dengan kebijakan partai di atasnya, ya itu harap diselesaikan di internal partai tersebut," ucap dia.