Ternyata budaya korupsi bukan hanya berhubungan dengan instansi pemerintah saja. Sektor swasta pun sudah mengikuti ‘tradisi’ ini. Di tengah situasi itu, masih ada orang-orang kecil yang menolak untuk melanggengkan tindakan tidak pantas ini. Berikut kisah mereka dalam menentang budaya korupsi:
Bengbeng bukan nama makanan ringan yang terbuat coklat. Melainkan nama tukang cukur rambut asal Majalengka, Jawa Barat. Nama aslinya Bambang (24).
Sebelum menjadi tukang cukur, Bengbeng bekerja di pabrik goni. Penghasilannya yang minim mendorong Bengbeng untuk mencari pekerjaan lain. “Saya ngelamar di pabrik lain. Cari yang lebih baik,” ujar alumnus SMK Otomotif di Kuningan, Jawa Barat.
Sayangnya untuk bekerja di pabrik lain Bengbeng harus mengeluarkan uang ‘pelicin’. Bengbeng diminta sejumlah uang agar dapat diterima. Oleh karena merasa aneh, dia menolak permintaan itu. “Saya kan kerja mau cari uang, kok malah mengeluarkan uang?” tanyanya keheranan.
Jadi SPG
Nasib serupa menimpa Henny (18). Gadis asal Pekalongan, Jawa Tengah ini baru lulus tahun lalu dari SMK jurusan Jaringan Komputer. Dengan berbekal nilai ijazah yang bagus Henny melamar pekerjaan.
Setelah ke sana kemari, sebuah perusahaan minimarket franchise di Tangerang, Banten memanggilnya. Usai melalui tes pertama, Henny dinyatakan lulus. Namun, diminta untuk menunggu panggilan selanjutnya.
Beberapa hari kemudian, Henny menerima telepon. Orang itu mengaku personalia dari perusahaan tempat dia test. Si penelepon mengatakan Henny dapat sebagai sales promotion girl (SPG) asal membayar Rp. 1 juta.
Henny terpana mendengar permintaan itu. “Uang itu untuk diberikan kepada pimpinan. Dan, ini bukan kamu saja. Semua yang lulus tes dan mau kerja, ya, harus kasih uang,” ujar Henny menirukan suara di seberang sana.
Henny pun menanyakan kepada rekannya yang barengan ikut tes. Ternyata memang benar. Beberapa hari kemudian teman Henny bekerja. Dia bersedia membayar uang yang diminta karena membutuhkan pekerjaan selepas meninggalkan bangku SMA. Sementara Henny tetap menganggur.
Gadis yang selalu mendapat rangking di sekolah itu tidak mampu membayar uang sogokan meski telah lolos tes. Dia menerima nasib karena memang tak mampu memberi suap kepada pihak ‘berwenang’. “Uang dari mana buat nyogok?” ujar anak dari seorang pembantu rumah tangga ini.
Dengan terpaksa Henny kembali mulai mengirimkan surat lamaran lagi. Namun, dia tidak mau mengajukan surat lamaran ke perusahaan minimarket franchise.
Dari teman-temannya dia mendapat informasi bahwa budaya suap harus dilakukan kalau mau bekerja sebagai SPG di perusahaan minimarket franchise .
Nasib baik
Lain halnya dengan Henny, Bengbeng kini sudah memperoleh penghasilan mapan. Setelah gagal bekerja sebagai karyawan di pabrik lain, Bengbeng memutuskan alih profesi.
Awalnya dia memperhatikan temannya yang bekerja sebagai tukang cukur rambut. Tertarik dengan pekerjaan itu, Bengbeng mencoba untuk memberanikan diri memegang gunting dan clipper. Clipper adalah alat potong rambut dengan tenaga listrik. Ternyata Bengbeng bisa memotong rambut orang dengan bagus. Dia pun terpicu untuk ganti profesi.
Setelah berlatih beberapa minggu, Bengbeng bekerja jadi tukang cukur di Bogor, Jawa Barat selama tiga tahun. Dua minggu belakangan, Bengbeng sudah pindah tempat kerja di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat. Pasar ini letaknya persis sebelah barat Stasiun Kereta Api Gondangdia.
“Saya mau coba merantau ke Jakarta. Kayaknya lebih enak di ibukota,” ujarnya memberi alasan kepindahan ke tempat kerja sekarang.
Memang Bengbeng sadar ilmu yang dulu diperolah di bangku sekolah tidak terpakai dalam pekerjaan sekarang. Namun, demi memperoleh penghasilan yang cukup, dia rela meninggalkan ijazah dan ilmu yang sudah didapat. “Baru ada hubungan dengan otomotif kalau naik angkot,” katanya sembari tertawa.
Penghasilan Bengbeng sekarang jauh di atas pendapatannya sebagai karyawan pabrik. Sekali memotong rambut, Bengbeng menerima Rp. 18.000. Uang itu sebagian diserahan kepada bos yang memiliki tempat kerja. Sementara tips yang diterima dari konsumen, sepenuhnya menjadi milik Bengbeng. “Di sini sistem komisi,” ujar pria yang enggan mengungkapkan jumlahnya.
Pada hari biasa Bengbeng bisa mencukur rata-rata kepala 18 orang. Sabtu dan minggu bisa hampir dua kali lipat. Dari pendapatan ini dia bisa menghidupi diri sendiri dan mengirim sebagian uang kepada orangtuanya. “Untung saya dulu nggak nyogok jadi karyawan pabrik. Kalau saya lakukan nggak bisa enak seperti sekarang. Tetap jadi buruh pabrik”.
Dalam renungannya Bengbeng menyampaikan bahwa kalau mau usaha halal pasti banyak cara yang dapat dilakukan. Tuhan pasti membuka jalan. Tinggal kita mau melakukan atau tidak. “Nyogok itu kan dosa. Kalau saya kasih, orang yang nerima dosa. Saya juga ikut dosa karena buat orang berdosa,” katanya.
Bambang, nama asli Bengbeng, bukanlah pejabat tinggi. Apalagi pimpinan partai politik. Namun, sebagai masyarakat biasa, dia sudah membuktikan untuk melawan budaya korupsi. Dia tidak berteriak-teriak menyampaikan slogan lawan korupsi, apalagi mengiklankan diri lewat media massa. Bagaimana dengan Anda?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.