JAKARTA, KOMPAS.com — Jalan Rawa Belong yang biasanya dipenuhi penjual bunga berubah pada 3-4 hari jelang Imlek atau Tahun Baru China.
Dari ujung ke ujung, yang terlihat adalah pedagang ikan bandeng berukuran jumbo. Lapak mereka sederhana dan berada di trotoar.
Satu pedagang memiliki satu meja yang dilapisi terpal dan daun pisang. Begitu pun atapnya, mereka memakai terpal atau spanduk bekas.
Dari pengamatan Kompas.com, Rabu (25/1/2017), lebih kurang ada 40 pedagang yang berjualan di tempat tersebut. Suasananya bagaikan pasar mini.
"Sudah dari zaman dulu. Bapak saya sudah jadi pedagang (bandeng musiman) sejak 1970-an. Mulai 1980, saya ikut bantu sampai sekarang (berjualan sendiri)," ujar Nur Hasanah, salah satu pedagang.
(Baca juga: Pedagang Bandeng Dadakan di Rawa Belong Berharap Ramai Pembeli)
Sehari-hari, Nur bukanlah pedagang ikan, seperti kebanyakan pedagang lainnya, melainkan pedagang sayur.
Tiap jelang Imlek, ia beralih obyek dagang dari sayur menjadi ikan bandeng. Omzet yang ia dapat jauh lebih besar.
"Kalau ramai, satu hari bisa terjual 1 kuintal. Namun, biasanya mulai ramai itu pada hari ketiga," ujarnya.
Nur mengatakan, penjualan bisa berkisar Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Untuk ukuran, ikan bandeng yang dijajakan di pasar dadakan ini memang tergolong tak umum.
Kalau biasanya bandeng sudah dipanen dengan hitungan 4-5 ekor per kilogram (kg), di Rawa Belong berat satu bandeng berkisar 1,3 kg-10 kg.
"Ya itu cuma bisa didapat jelang Imlek. Bandengnya juga bukan (bandeng) laut, melainkan (bandeng) empang. Lama peliharanya bisa tahunan," ujar Rojali, salah satu pedagang lainnya.
Karena itu, kata Rojali, wajar kalau harganya sedikit lebih mahal. Kalau bandeng biasa dijual seharga Rp 25.000 per kg, harga bandeng jumbo bisa mencapai Rp 60.000-Rp 75.000 per kg. Hal itu tergantung proses transaksi dengan pembeli.
"Kalau yang pintar menawar bisa dapat Rp 60.000 per kg dari kami. Makin besar (ikannya), makin mahal harga per kg-nya," katanya.
Namun, sejak 1980, momen bandeng musiman ini dipakainya untuk mendapat nafkah tambahan.
"Otomatis 3-4 hari ini, saya dan anak (yang membantu) belanja ke Muara Angke untuk mencari ikan bandeng jumbo 1-2 kuintal," kata Rojali.
Operasional pasar bandeng dadakan di Rawa Belong mulai dari pukul 05.00 subuh sampai pukul 22.00 malam. Rojali mengatakan, malam adalah waktu-waktu paling ramai lapaknya dikunjungi pembeli.
"Kalau pasar biasa ramainya pagi, kami di sini (ramainya) malam. Makanya kan disebutnya 'Pasar Malam Ikan Bandeng Rawa Belong'," tuturnya.
Dari antaran sampai ikut-ikutan
Bandeng jumbo yang dijual jelang Imlek memang berawal dari tradisi China. Kata Rojali, perayaan Imlek tak lengkap tanpa bandeng.
"Tiap perayaan Imlek, saya menyajikan pindang bandeng jumbo di rumah. Nanti (saat perayaan), keponakan dan kerabat datang. Saat itulah saya sajikan bandeng dan kue keranjang," ujar Melly Kaharudin, seorang keturunan China yang ditemui di sana.
(Baca juga: Bandeng Jumbo di Rawa Belong Bisa Mencapai Rp 500.000 Per Ekor)
Namun, yang unik, pembelinya bervariasi, tak hanya keturunan China, tetapi juga Betawi. Rojali menyampaikan bahwa Betawi juga punya tradisi sendiri soal bandeng jumbo musiman ini.
"Ada tradisi antaran (bandeng jumbo) oleh menantu untuk mertua. Makin besar (yang diantar), harapannya makin banyak rezeki," ujarnya.
Dalam tradisi Betawi, ikan bandeng yang menjadi antaran bukanlah ikan yang sudah dimasak, melainkan satu ekor utuh yang masih segar. Selain dikirimkan ke mertua, ikan bandeng juga dikirim ke kerabat lain atau teman.
Saat di Rawa Belong, Kompas.com sempat menemui Laila (66). Ia sengaja datang ke pasar dadakan itu bukan untuk membeli, melainkan minta tolong pedagang untuk membersihkan dan memotong ikan yang ia dapat dari antaran.
"Ini antaran dari kawan. Nanti deh sampai Imlek pasti dapat banyak antaran. Bisa berhari-hari makan bandeng," ujar Laila.
"Kalau Betawi itu biasanya dipindang pakai petai biar sedap. Kalau enggak ya dimasak kecap atau pucung," ujar dia.
(Baca juga: Tradisi Makan Bandeng Pindang di Perayaan Imlek)
Selain Melly dan Laila, Kompas.com juga sempat menemui salah satu pembeli yang membeli bandeng tanpa terikat tradisi, yaitu Rohmah. Meskipun bukan keturunan China atau Betawi, ia datang membeli bandeng.
"Sengaja datang ke sini, ikut-ikutan orang Betawi. Katanya daging bandengnya berbeda dari biasa. Lebih tebal, lembut, dan gurih," ujarnya sembari tawar-menawar dengan pembeli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.