KOMPAS.com - Setiap kali Imlek datang, Gio (24 tahun) akan jadi anak kecil lagi. Matanya berbinar menatap hidangan Imlek yang menghiasi ruang makan di rumah kakek dan neneknya.
“Emak, kiong hi!” adalah kalimat “sakti” Gio sejak kecil setiap kali bertemu sang nenek di perayaan Imlek. Ucapan tersebut semestinya berbunyi lengkap “Kiong Hi Huat Tsai” yang berarti “Selamat Menjadi Kaya”.
Kalimat “sakti” itu selalu berbuah manis, meski struktur bahasanya tak lengkap. Hasilnya, amplop merah angpau berpindah ke tangan Gio. Bisa jadi inilah satu-satunya kalimat "salah ucap" yang paling menyenangkan bagi Gio dan anak-anak keturunan Tionghoa.
Bukan lagi semata soal keyakinan
Bagi Gio, menerima angpau tak hanya mengembalikan kesenangan merasa lagi menjadi anak-anak yang riang, tetapi juga pertanda keluarga besarnya berkumpul.
“Gue sih suka banget ya Imlek. Soalnya, justru perayaan hari-hari China yang bikin keluarga gue pada ngumpul. Maklum kami lintas-agama,” ujar dara yang bekerja di komunikasi publik di kawasan Jakarta Selatan ini, Rabu (25/1/2017).
Gio mengatakan, tak semua anggota keluarga besarnya masih menganut agama Budha. Banyak dari mereka yang kini memeluk agama Kristen. Keluarga Gio kini pun beragama Islam.
“Nenek gue juga menyajikan hidangan babi karena banyak keluarga yang Kristen. Tapi karena dia tahu gue Muslim, dia bakal kasih tahu nih yang bisa gue makan masakan yang mana saja,” tutur Gio.
Menata ulang harapan
Lain lagi dengan Lia (24). Baginya, Imlek adalah sebuah awal untuk kembali berharap. Setelah satu tahun berlalu lagi, Imlek kembali menyajikan harapan baru.
Seperti halnya Gio, keluarga besar Lia juga tak lagi memeluk satu keyakinan yang sama. Di keluarganya ada yang masih memeluk agama Budha, ada juga yang kini beragama Kristen atau Katolik.
Kegiatan saat berkumpul menjelang Imlek dan acara keluarga yang lain pun serupa, dari menyantap hidangan favorit hingga menggoda Lia yang belum ada gelagat menikah.
Menurut Lia, Imlek menjadi momentum yang terasa beda, justru karena artinya secara harfiah.
“Ini kan ngerayain tahun baru, jadi semua orang gembira. Semuanya punya harapan biar tahun barunya lebih baik lagi," ungkap dia.
Tradisi
Bagi generasi milenial seperti Gio dan Lia, banyak tradisi yang tak lagi mereka jalankan karena keyakinan. Kebiasaan dari tahun ke tahun, justru lebih lekat terasa.
Lia, misalnya, mengaku "ketagihan" dengan nuansa Imlek. Terlebih lagi ada banyak makanan favorit yang melimpah ruah pada saat itu.
Setiap Imlek, sebut dia, akan tersedia hidangan khas seperti siue mi (mi panjang), berbagai hidangan ayam dan babi, kue keranjang dan lapis legit, serta jeruk mandarin. Bahagia di hati, perut pun kenyang.
“Kebiasaannya tiap tahun begitu. Sambil ngobrol, dikasih angpau, ngemil kacang dan kue-kue. Paling kalau yang sempat, besoknya kumpul lagi di rumah saudara lain yang dituakan. Jadi misalnya di rumah adeknya nenek gue, kumpul lagi, makan-makan lagi,” tutur Lia sambil tertawa.
Nuansa tradisi dan momentum yang terasa pas buat berkumpul sekeluarga besar, juga dirasakan Gio. Meski keluarganya beragama Islam, mereka justru tak pernah lengkap bertemu keluarga besar pada Idul Fithri.
“Gue dapat uang pas imlek, bukan lebaran, karena Islam jadi minoritas di keluarga gue," ujar Gio memberi contoh.
Seperti di keluarga lain yang merayakan, Gio dan keluarga besarnya selalu mengawali perayaan Imlek dengan makan besar bersama keluarga pada malam menjelang Imlek. Sesi favorit bagi-bagi angpau akan terjadi setelah itu.
Malam akan mereka akhiri bersama dengan menyalakan kembang api. Dari kanak-kanak hingga bekerja, Gio mendapati keriangan Imlek semacam itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.