KOMPAS.com - Ada banyak tradisi berlangsung, lengkap dengan segala pernak-perniknya, setiap kali Imlek tiba. Di tengah semua itu, ada sederet pantangan yang sudah jadi "keyakinan" turun-temurun.
Pada malam menjelang Imlek, misalnya, keluarga besar keturunan Tionghoa punya tradisi untuk berkumpul di rumah kerabat tertua. Sejumlah makanan khas—bahkan ada yang hanya bisa ditemui saat Imlek—bakal jadi suguhan di pertemuan.
Budaya memberi uang dalam amplop merah—angpau—pun masih terus berlangsung hingga kini. Uang itu diberikan kepada anggota keluarga yang lebih muda, dari anak-anak sampai dewasa tetapi belum menikah.
Bagi generasi milenial—mereka yang tumbuh dewasa pada era 2000-an—pemaknaan atas sejumlah tradisi tersebut beragam.
Penampilan
Dalam tradisi Imlek, ada sejumlah anjuran yang sudah terasa laiknya pakem soal penampilan. Keturunan Tionghoa, misalnya, harus mengenakan pakaian baru. Itu pun harus pakaian berwarna merah.
Di budaya China, warna merah melambangkan rezeki dan keberuntungan. Adapun "status" baru untuk baju merupakan simbolisasi harapan pada tahun mendatang para pemakainya juga mendapatkan rezeki baru.
Pakaian baru tak hanya untuk baju luar yang dipakai untuk bertandang atau menerima kunjungan pada malam menjelang Imlek, tetapi juga berlaku pada pakaian tidur, pakaian dalam, bahkan seprei alas tidur.
Vincy juga menuturkan, dia akan memotong rambutnya setiap menjelang Imlek. “Potong rambut itu 'harus banget', untuk membuang sial,” ujar dia mantap.
Serba pantang
Selain segala yang berbau "harus", Imlek juga punya sederet daftar "pantang". Tujuan segala larangan adalah menghindari hal buruk terjadi pada tahun mendatang.
Selama Imlek, para keturunan Tionghoa dilarang keras untuk bersih-bersih rumah. Bahkan, memegang sapu saja sudah harus dihindari selama perayaan tahun baru penanggalan China itu.
“(Pegang sapu apalagi menyapu diyakini) bisa menyapu rejeki yang datang," sebut Lady (24), juga salah satu warga Tionghoa generasi milenial di Jakarta.
Setali tiga uang, ujar Lady, pegang barang yang tajam-tajam juga masuk daftar larangan selama Imlek. "(Dikhawatirkan) nanti memotong rezeki yang datang," kata dia.
Didikan yang Lady dapatkan, benda yang pecah dapat diartikan sebagai perlambang kesialan. Hal ini senada dengan larangan membuang sampah selama Imlek.
Sampah-sampah akan dikumpulkan di dalam rumah sepanjang hari Imlek dan baru keesokan harinya dibuang ke luar rumah. "Membuang sampah pada hari Imlek (diyakini) sama saja membuang rezeki yang datang selama satu tahun (ke depan)," kata dia.
Cerita yang sama datang dari Metta (29), keturunan Tionghoa yang keluarga besarnya masih merayakan Imlek sekalipun kini menganut agama Katolik.
“Jadi kalau mau nyapu dan ngepel, satu hari sebelumnya. Kalau nyapu kan (diartikan) menyapu rezeki juga, terlebih lagi kalau membuang (sapuan) ke arah pintu depan," tutur Metta.
Menyapu ke arah pintu depan, lanjut Metta, dianggap bakal menolak rezeki yang datang. “Menyapu yang benar itu dari depan ke belakang, biar rezekinya terkumpul,” kata dia.
Larangan lain selama Imlek adalah mengenakan baju berwarna putih. Bagi orang Tionghoa, warna putih melambangkan kesedihan dan duka cita. Karenanya, baju putih biasa digunakan dalam peringatan kematian seseorang.
Soal makanan, pantangan selama Imlek adalah menyajikan dan makan bubur dan tahu putih. Warnanya dianggap sebagai simbol kedukaan seperti halnya urusan baju.
Sudah begitu, bubur dianggap sebagai perlambang kemiskinan. Dari situ, penyantap bubur saat Imlek diyakini dalam tradisi ini bakal mengalami kemiskinan pada satu tahun ke depan.
Tradisi dan pernak-pernik lain
Seperti kebanyakan hari raya, saat Imlek pun disajikan berbagai hidangan khas yang selalu membuat rindu.
Olahan daging, ayam, dan ikan, juga menjadi sajian wajib dalam perayaan Imlek. “(Khusus sajian ikan) disajikannya harus utuh. Supaya rezeki pada tahun selanjutnya juga utuh, tidak ada yang dipotong-potong,” ujar Lady.
Makanan berupa manisan buah, permen, dan kue keranjang juga selalu ada di setiap rumah warga Tionghoa saat Imlek. Makanan yang manis dan lengket dipercaya melambangkan harapan rezeki yang datang selalu manis dan hubungan keluarga selalu harmonis.
Kebiasaan dan harapan
Dari semua deretan cerita tradisi di atas, tersemat segala harapan dan antisipasi untuk memastikan rezeki baik terwujud pada setahun menjelang.
Meski Vincy, Lady, dan Metta merupakan generasi milenial yang kesehariannya selalu berhubungan dengan teknologi terkini, mereka mengaku tetap mengikuti tradisi Imlek tanpa ada paksaan.
“Aku melakukan semua itu karena tradisi. Aku enggak keberatan juga melakukannya. Itu sudah menjadi kebiasaan, karena sudah dilakukan sedari kecil jadi melekat banget,” ujar Vincy.
Selain untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan, perayaan Imlek juga kerap menjadi kesempatan bagi keluarga besar Tionghoa untuk berkumpul, sekalipun di antara mereka tak semuanya masih menganut ajaran Budha.
Cerita lebih lugas datang antara lain dari Deliusno, wartawan yang juga keturunan Tionghoa. Banyak hal dalam rangkaian perayaan Imlek tak lagi dia pahami latar belakang dan maksud keberadaannya.
Meski begitu, lanjut Deliusno, semua pernak-pernik berupa keharusan dan larangan dalam tradisi tersebut sebenarnya menyimbolkan harapan baik untuk setahun ke depan.
Saat kecil, Deliusno mengaku pernah disuruh orangtuanya membaca komik yang menjelaskan segala tradisi orang Tionghoa. "Wah, susah juga ingat satu per satu. Semua ada maksudnya, kenapa begini kenapa begitu, ada pula kisah legenda di baliknya," tutur dia.
Shierine Wangsa Wibawa, juga wartawan dan keturunan Tionghoa, memberikan contoh soal kisah legenda itu terkait larangan memegang sapu.
Konon, tutur dia, dulu ada lelaki teramat sangat miskin. Suatu hari, dia bertemu dan akhirnya menikah dengan perempuan cantik yang ternyata adalah bidadari dari kahyangan. Setelah pernikahan itu, si lelaki dan keluarganya jadi kaya raya.
Namun, tepat pada suatu tahun baru, lelaki ini mengamuk dan memukul istrinya memakai sapu, sampai si istri kembali ke kahyangan. "Nah, si lelaki balik miskin lagi setelah itu. Kenapa sekarang jadi pantangan pegang sapu, biar ga sial di tahun yang baru," ujar Shierine.
Deliusno dan Shierine tak menampik, banyak hal terkait legenda dan pesan di balik tradisi Imlek sudah terasa samar. Namun, mereka berdua mengaku suasana Imlek setelah ditetapkan sebagai hari libur nasional sangat menyenangkan dan membekas.
"Dulu sebelum itu hanya dirayakan di rumah, seperti diam-diam. Sekarang semua meriah. Bisa berkumpul keluarga, dan segala rupa," ujar Deliusno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.