Usai turun dari bus yang membawa saya dari Jakarta di Terminal Baranangsiang, saya menanyakan lokasi Pulo Geulis ke salah satu orang yang saya temui.
Dan diapun dengan sangat jelas menunjukkan arah Pulo Geulis yang ternyata jaraknya tak sampai 15 menit bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Dari ‘daratan’ kota Bogor, untuk mencapai Pulo Geulis saya harus melewati sebuah jembatan yang membentang di atas Sungai Ciliwung yang airnya masih agak lebih bersih ketimbang Sungai Ciliwung di Jakarta.
Di ujung jembatan itu, saya disambut jalan-jalan sempit bak labirin yang membelah pulau kecil itu.
Setelah bertanya-tanya ke beberapa orang penduduk setempat, akhirnya sampailah saya di Wihara Mahabrahma yang konon adalah wihara tertua di kota hujan.
Di situ saya bertemu salah seorang pengurus wihara Bram Abraham, seorang lelaki keturunan Tionghoa berkumis tebal yang saat berbicara sangat kental logat Sundanya.
Dengan senang hati, pak Bram menjelaskan sejarah wihara itu yang sudah dihiasi lampion-lampion berwarna merah menjelang malam pergantian tahun baru China itu.
“Tidak ada yang tahu pasti usia wihara ini,” kata Bram.
“Tapi dari ekspedisi Belanda yang dipimpin Abraham van Ribeck tahun 1704, pulau ini sudah ada penduduknya dan klenteng ini sudah berdiri,” tutur Bram.
Pulo Geulis, kata Bram, yang dulu bernama Parakan Baranangsiang konon adalah tempat berlibur keluarga kerajaan Pajajaran.
Kenapa kini namanya menjadi Pulo Geulis?
Bram menjelaskan banyak cerita dan legenda tentang nama Pulo Geulis. Tapi ada satu yang menurutnya cocok dengan kondisi pulau saat ini.
“Geulis dalam bahasa Indonesia berarti cantik. Nah, di Pulo Geulis ini seluruh penduduk geulis atau cantik dalam relasi antarwarga,” ujarnya.
*******
Cantik dalam hubungan antarwarga yang berlatar belakang berbeda. Demikianlah filosofi Bram Abraham soal nama Pulo Geulis.