Seperti halnya di sebagian besar tempat di Indonesia, mayoritas penduduk Pulo Geulis adalah pemeluk Islam.
Meski mayoritas, warga Muslim Pulo Geulis sangat menghormati keberadaan agama minoritas dalam hal ini Buddha dan Kong Hu Cu yang diwakili keberadaan wihara Mahabrahma.
“Hubungan kami sangat baik dengan penduduk yang beragama Islam,” kata Bram.
“Saat malam Imlek di mana banyak warga Tionghoa datang beribadah, warga setempat membantu pengamanan jalannya ibadah.”
“Bahkan saat perayaan Cap Go Meh, dua minggu setelah Imlek ada perarakan salah satu patung dewa di wihara ini dan warga Muslim banyak yang ikut mengangkut patung dewa itu untuk diarak,” tambah Bram
Cerita Bram ini bukan sekadar bualan. Salah seorang tokoh masyarakat Pulo Geulis Tata Sumiarta membenarkan penjelasan Bram.
“Saya sudah 36 tahun jadi ketua RT di sini. Tapi belum pernah sekalipun ada gesekan antar warga karena alasan agama atau suku,” kata Tata yang usianya sudah lewat 70 tahun saat saya kunjungi enam tahun lalu.
“Bahkan wihara ini sering jadi tempat perayaan keagamaan Islam. Misalnya saat Maulid Nabi, kami kerap menggelar pengajian di sini,” tambah Tata sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Apa kunci kedamaian ini? Sederhana, kata Tata, semua warga saling menghormati kepercayaan masing-masing.
“Saya sendiri Muslim. Warga kami sebagian beribadah di wihara dan ada juga yang Kristen.”
“Tapi kami tidak pernah saling mencela. Kami menghormati kepercayaan kami masing-masing,” jelas dia.
“Maka berulang kali saya bilang kepada orang-orang di luar Pulo Geulis untuk mencontoh kerukunan kami,” ujar Tata.
*******
Pulo Geulis menjadi contoh nyata perbedaan bukan menjadi penghalang manusia untuk hidup damai.