Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peternakan Tapos Pernah Jadi Legenda dan Mati Suri

Kompas.com - 20/02/2017, 18:00 WIB

Oleh: RATIH P SUDARSONO

Di dalam joglo, di atas pintu baratnya, menempel di dinding kerai bambu terdapat satu foto dalam bingkai kayu yang sederhana. Ukurannya agak besar dan di bagian atas foto tertera tulisan "In Memoriam-Pak Harto di Peternakan Tri S Ranch Tapos".

Tiga obyek berbeda, dibidik dalam kesempatan berbeda, disatukan dalam satu foto itu. Yakni, sosok Soeharto setengah badan, bangunan joglo dengan pintu dan jendela tertutup, dan rombongan sapi dengan semua kepalanya nyaris menunduk melintas berbaris di depan kandang.

Foto itu terkesan sepi dalam kesendirian. Latar belakang kandang berupa panorama pegunungan, yang juga terbidik, menambah kesan rasa sepi dan kesenyapan.

Apalagi, mengamati raut Pak Harto dalam foto. Kedua matanya terpicing melihat kejauhan dengan mulut rapat membentuk senyum tertahan. Memperkuat kesan, selain kesepian dalam kesendirian, juga menyimpan kerinduan dalam kesenyapan di kesendiriannya.

Dua kali pada Februari ini, Tri S Ranch Tapos di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, dikunjungi. Kesan sepi senyap sangat kuat. Seperti kesan yang sama yang kami dapat ketika mengunjungi peternakan Tapos Pak Harto (itu nama populernya) itu pertengahan 2006.

Papan nama peternakan di samping kanan jalan masuk semakin memudar. Foto atau gambar sapi hitam legam sudah berubah wujud menjadi siluet sapi putih. Padahal, itu Brangus, jenis sapi unggulan, kebanggaan Pak Harto. Namun, tulisan Brangus dan Tri S Ranch di papan nama itu masih terbaca.

Brangus adalah sapi silangan dari Australia, yang dulu dibibitkan atau digemukkan di peternakan Tapos, untuk kemudian dibagikan ke sejumlah daerah sebagai ternak program bantuan presiden. Di daerah penerima, sapi Brangus dijadikan pejantan unggulan. Berat sapi ini mencapai 2-3 ton per ekor.

"Brangus sudah tak ada lagi di sini sejak 6-7 tahun lalu. Sekarang kami hanya memelihara sapi perah untuk dijual susunya ke PT Indomilk. Tak ada lagi pembibitan sapi Brangus. Saya dengar, di beberapa daerah yang pernah dapat bantuan presiden masih ada sapi Brangus turunan dari sini," ujar H Yanwar.

Yanwar adalah kepala bagian ternak, yang sudah bekerja di peternakan Tapos sejak 45 tahun lalu, yakni sejak lahan bekas perkebunan kina dan sereh di kawasan kaki Gunung Gede- Pangrango itu disiapkan menjadi Tri S Ranch, lengkap dengan pusat pengembangan tanaman hidroponik dan perkebunan teh. Kini, peternakan diurus untuk sekadar bertahan dengan memelihara sapi perah.

Anak pertama Pak Harto, Sigit Harjojudanto (65), rutin datang ke peternakan setiap Rabu.

"Sejak reformasi, kami sulit bergerak. Jadi, keluarga mempertahankan peternakan ini sebagai kesenangan atau hobi keluarga, bukan untuk mencari uang. Mudah-mudahan pada tahun mendatang, peternakan ini mampu bangkit kembali. Peternakan modern sangat diperlukan karena membuka lapangan pekerjaan. Salah seorang cucu Pak Harto, kami lihat ada yang memiliki hasrat di bidang peternakan dan pertanian seperti kakeknya," kata Yanwar.

Di peternakan Tapos tidak terlihat lagi kesibukan layaknya sebuah peternakan saat Pak Harto masih menjadi Presiden. Tapos dicetuskan dan dipersiapkannya pada 1974.

Pak Harto sering menerima sejumlah tamu dari beberapa kelompok dan kalangan yang diundang khusus ke peternakan Tapos.

Impian Pak Harto adalah Tapos menjadi peternakan yang akan menjadi pusat penghasil ternak unggulan dan percontohan peternakan modern di Indonesia. Pak Harto menjadikan Tapos pusat pelatihan dan penelitian ternak.

Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden tahun 1998, peternakan Tapos juga langsung mati suri. Paling tidak, mati suri sementara. Sebab, saat ini di sana masih ada 1.500 sapi perah yang menghasilkan minimal 5.500 liter susu per hari. Juga terdapat sekitar 300 domba yang dipelihara untuk kebutuhan internal, saat ada perayaan keluarga, peternakan, atau kemasyarakatan dan keagamaan.

Ladang-ladang rumput gajahnya masih terawat baik dan mampu menghasilkan sedikitnya 50 ton rumput sehari untuk pakan semua ternak.

Tapos masih memiliki dua dokter hewan dan sekitar 30 karyawan tetap sebagai pemelihara ternak dan kandang. Lebih dari 150 warga sekitar juga terlibat di peternakan sebagai tenaga lepas, sewaktu-waktu dipekerjakan untuk memanen rumput gajah, pakan utama ternak. Dulu, jumlah tenaga kerja lebih dari 500 orang karena Pak Harto sengaja tidak menggunakan mesin pemanen rumput untuk menyerap tenaga kerja lokal. Kini tenaga kerja berkurang karena kegiatan peternakan menciut. Banyak kandang yang kosong atau dibiarkan kosong tidak terpakai.

Di sana juga terlihat banyak peralatan kerja pertanian dan peternakan yang rusak atau berkarat teronggok di beberapa lokasi. Empat mesin pemotong rumput dan pengolah makanan ternak dengan cerobong-cerobongnya bercat biru, yang menjadi ciri khas "kemodernan" peternakan pada mulanya, sudah bertahun-tahun dibiarkan rusak dan akhirnya mesin-mesinnya berkarat.

Tetap ada harapan

Harapan keluarga besar Pak Harto untuk kembali mengembangkan peternakan Tapos tetap besar. Sebagian besar kandang sudah direnovasi. Di atasnya dibangun atau ditambahkan semacam vila untuk tempat bermalam atau berkumpul keluarga yang mengunjungi peternakan.

Ada kandang yang dibiarkan berupa bangunan asli, seperti kandang transit ternak di areal paling depan peternakan atau sebelah kanan jalan masuk utama ke peternakan.

Namun, jika melihat kondisi joglo dan paviliun di samping joglo yang tetap terawat dan dalam bentuk aslinya, ada harapan, sejarah peternakan torehan Pak Harto akan dilestarikan. Pada waktunya, peternakan Tapos dikelola kembali secara profesional untuk mewujudkan cita-cita Pak Harto.

Di bangunan utama yang berupa joglo masih terawat dengan baik. Perabotannya berupa meja-meja dan kursi-kursi yang digunakan semasa Pak Harto menerima dan berdialog dengan berbagai kalangan tentang pertanian dan peternakan. Ada dua meja yang kaki-kakinya terbuat dari rotan serta beberapa puluh kursi lipat warna merah yang digunakan saat Pak Harto menerima rombongan tamu.

Semula, joglo terbuka sebagaimana joglo umumnya. Namun, kemudian diberi joglo ukuran 12 meter x 12 meter, yang di bagian bawahnya diberi dinding papan dan di bagian atasnya diberi dinding tirai bambu, berikut empat pintu di setiap sisinya. Juga ada tambahan meja-meja panjang terbuat dari papan untuk kebutuhan rapat. Perabotan di paviliun di samping joglo, tempat Pak Harto istirahat dan bertemu dengan tamu-tamu terbatas, juga masih asli dan utuh.

Selain ada lukisan wayang karakter Krisna dari kulit sapi, ada dua lukisan cat minyak menghiasi dinding paviliun. Satu lukisan hadiah dari Perdana Menteri Australia dan satu lagi hadiah dari cucu Pak Harto, Ragowo Hediprasetyo Prabowo. Lukisan itu berhubungan dengan peternakan, yaitu tentang sapi di padang luas terbuka.

"Semua itu barang-barang Pak Harto. Salah satu tongkatnya merupakan hadiah dari petani. Mendiang Pak Harto itu orang sederhana. Barang-barangnya cuma segitu. Kamar mandinya dari dulu juga begitu, juga klosetnya. Namun, kamar mandi itu bersejarah. Selain Pak Harto, pernah dipakai pejabat tinggi negara lain, termasuk PM Inggris (waktu itu) Margaret Thatcher. Kami akan merawat semua peninggalan asli Pak Harto ini sebagai monumen kecintaan dan perjuangannya terhadap upaya memajukan pertanian dan peternakan di Indonesia," kata I Made Soewecha.

Soewecha, yang bertahun-tahun mendampingi Pak Harto hingga akhir hayatnya, mengatakan, Pak Harto tak pernah menginap di peternakan. Pak Harto biasanya datang pagi-pagi atau subuh lalu kembali ke Jakarta siang atau malam hari. Sebab, Pak Harto tak ingin merepotkan pasukan pengawal atau pengamanannya. Pak Harto dua minggu sekali mengontrol keliling peternakannya.

"Pak Harto tak mau merepotkan orang lain. Kalau memberi wejangan, selalu meminta kita bersabar. Falsafah Jawa, mikul dhuwur mendhem jero, sangat diterapkan beliau. Jangan suka menghujat kepada para pemimpin atau orangtua-orangtua kita, kualat nanti," katanya.

I Made Soewecha, yang juga kepala koordinator operasional PT Reso Sari Bumi unit peternakan Tapos, memastikan peternakan itu dikembangkan kembali menjadi peternakan berbasis bisnis modern.

Beberapa warga di dekat peternakan berharap peternakan berkembang lebih baik dari zaman Pak Harto. "Kalau peternakan maju, anak-anak kami bisa bekerja di sana," katanya.

I Nyoman Sukarata, wakil I Made Soewecha, memastikan, PT Rejo Sari Bumi, perusahaan pemilik dan pengelola Tri S Ranch Tapos, resmi memiliki izin perpanjangan HGU sampai 2025 dengan izin lahan 450 hektar. Luas lahan itu lebih kecil dibandingkan izin HGU tahap pertama (1975-2000) yang saat itu 751 hektar.

Semoga peternakan Tapos dibangun kembali menjadi peternakan modern yang mampu bersaing dan berkiprah dalam dunia peternakan Indonesia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Februari 2017, di halaman 27 dengan judul "Pernah Jadi Legenda dan Mati Suri".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com