Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Antara Bandul Hukum dan Politik

Kompas.com - 22/02/2017, 18:25 WIB

Oleh: Ingki RInaldi

Hukum atau politikkah yang menjadi panglima dalam tata kelola pemerintahan? Pertanyaan ini merupakan hal klasik di Indonesia. Contoh terbaru terlihat di Provinsi DKI Jakarta, saat sebagian fraksi di DPRD memboikot rapat dengan eksekutif lantaran Gubernur tersangkut kasus pidana.

Sejak Senin (13/2), Fraksi PKS, Partai Gerindra, PPP, dan PKB di DPRD DKI Jakarta mulai memboikot rapat bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada rapat kerja. Tidak ada pembahasan apa pun, termasuk pembahasan 32 peraturan daerah (perda) yang pada 2017 ini diprogramkan oleh Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta untuk dirampungkan.

Dari seluruh rancangan perda (raperda) yang mesti dirampungkan itu, 25 di antaranya diajukan oleh pihak eksekutif dan tujuh raperda diinisiasi oleh DPRD DKI Jakarta. Sebagian di antara rancangan perda itu siap dibahas, setelah dikirimkan sebagai naskah akademik oleh Pemprov DKI Jakarta.

Akan tetapi, belum semua unsur pimpinan SKPD bisa mengevaluasi dampak boikot terhadap raperda yang diajukan.

Salah satu raperda yang siap dibahas adalah Raperda tentang Pengelolaan Perusahaan Umum Daerah Air Jakarta. Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan menyebutkan bahwa raperda itu merupakan domain PD PAM Jaya sekalipun menurut Balegda, perda itu diajukan oleh pihak eksekutif.

Sebagian fraksi yang melakukan boikot menyebutkan, alasan di balik pemboikotan itu adalah keinginan untuk mendapat ketegasan dan kepastian hukum terkait posisi Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta menyusul statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.

Seusai cuti kampanye, Basuki yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2017 itu kembali menjabat sebagai Gubernur DKI mulai 11 Februari. Pada saat bersamaan, sidang kasus penodaan agama itu masih berlangsung.

Anggota Fraksi PKS, Tubagus Arif, menyebutkan, pihaknya menuntut kejelasan dan ketegasan pemerintah, dalam hal ini Mendagri, terkait polemik pemberhentian sementara Basuki.

Arif juga menyebutkan bahwa sikap fraksinya berikut Fraksi PPP, Partai Gerindra, dan PKB tidak terkait dengan kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.

PKS dan Partai Gerindra mencalonkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pasangan ini bersaing dengan Basuki-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDI-P, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem di Pilkada Jakarta 2017. Adapun PPP dan PKB bersama Partai Demokrat dan PAN mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Menurut hasil hitung cepat, Agus-Sylvi tersingkir di putaran I Pilkada DKI.

Legalitas

Arif menambahkan, sejumlah kasus hukum sejenis yang menjerat kepala daerah, mestinya bisa dijadikan preseden hukum atau yurisprudensi untuk diterapkan sama kepada Basuki.

Status hukum Basuki, kata Arif, bakal berpengaruh terhadap legalitas pemerintahan di bawah kepemimpinannya. Pada akhirnya, seluruh kebijakan serta produk hukum yang dihasilkan dan terkait dengan Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki akan diragukan, bahkan dianggap nihil keabsahan dan legalitasnya.

Hal ini termasuk sejumlah kebijakan yang terkait dengan investasi dan memerlukan payung hukum. Hal inilah, kata Arif, yang terutama membuat fraksi-fraksi tadi memboikot.

Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa sejumlah hal yang sifatnya mendesak dan perlu pembahasan segera dengan pihak eksekutif tetap akan ditindaklanjuti. Boikot terutama untuk pembahasan bersifat umum seperti yang terkait dengan perda ataupun perubahan APBD.

Ihwal kemungkinan ada keterkaitan boikot di DPRD itu dengan penggalangan penggunaan hak angket di DPR oleh fraksi PKS, Partai Gerindra, PAN, dan Partai Demokrat, Arif cenderung tidak menanggapinya.

Ia hanya menjelaskan bahwa domain pemberhentian sementara seorang kepala daerah memang berada di pusat. Untuk gubernur, tanggung jawab itu berada di tangan presiden.

Sejauh ini, menurut Arif, sejumlah fraksi, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Hanura, juga telah dilobi untuk turut dalam pemboikotan ini.

Faktor politik

Sebagian kalangan berpendapat, faktor politik dalam pemboikotan ini juga relatif kentara jika dibandingkan dengan keinginan untuk mendudukkan perkara hukumnya.

Profesor Riset LIPI, Ikrar Nusa Bakti, membaca, pemboikotan ini justru kental dengan aroma politik untuk mendelegitimasi Gubernur DKI Jakarta.

Ia menambahkan, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sudah jelas duduk perkaranya.

UU itu mengatur ketentuan ancaman hukuman paling singkat lima tahun bagi kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana, sebelum diberhentikan sementara. Adapun Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjerat Basuki dalam kasus penodaan agama memiliki ancaman hukuman maksimal empat tahun dan lima tahun.

Selain itu, "syarat" lain yang disebutkan pada UU itu terkait pemberhentian, berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ikrar menambahkan, jika ditambahi dengan ketentuan "mesti beroleh kekuatan hukum tetap", pemberlakukan UU No 23/2014 ihwal pemberhentian sementara itu membutuhkan waktu lebih lama lagi.

Secara umum, Ikrar berpendapat, gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari peta dukungan partai politik pada pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilkada 2017.

Di sisi lain, ia mengakui, pendapat atau tafsir pakar hukum juga terbelah dua terkait masalah ini.

Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan, setiap tafsir memiliki alasannya masing-masing. "Kalau pasal multitafsir, tidak boleh dong merugikan seseorang. Asasnya, kan, apabila berlaku dua kondisi hukum, maka diberlakukan yang menguntungkan pihak terdampak," katanya.

Ia menambahkan, polemik tafsir hukum ini sekaligus membuktikan bahwa memorie van toelichting (risalah rapat) pembentukan UU ini tidak dimiliki pembuat undang-undang. Bahkan, anggota DPR yang menginginkan Basuki diberhentikan sementara pun tidak punya landasan argumentasi berdasarkan risalah pembentukan UU Pemerintahan Daerah.

Ikrar menambahkan, semestinya, UU yang juga merupakan produk legislasi DPR ini dapat pula dipahami oleh fraksi-fraksi yang melakukan boikot, termasuk menentukan pemimpin daerah bisa dikenai konsekuensi pemberhentian sementara.

Mengenai kekhawatiran terganggunya roda pemerintahan, Ikrar menyebutkan bahwa hal tersebut sangat tergantung dari jumlah anggota DPR yang setuju dengan gerakan tersebut.

Suara "netizen"

Di luar ruangan Dewan, rupanya tidak semua warga tertarik membahas pemboikotan di DPRD ini. Pantauan di media sosial Twitter sekitar pukul 11.30 kemarin, dari 1.000 "kicauan" yang ditarik dengan frasa kunci "Pemerintahan Ahok" dan "DPRD Jakarta", persoalan boikot oleh parlemen ini tidak muncul sebagai kata-kata terkait. Pemboikotan oleh empat fraksi itu baru muncul dalam frasa kunci "Boikot Ahok".

Di antara pusaran isu politik dan hukum serta pembicaraan sebagian warga yang cenderung memercayai dominannya aspek politik, di situlah isu pemboikotan oleh DPRD DKI Jakarta terus berputar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2017, di halaman 27 dengan judul "Di Antara Bandul Hukum dan Politik".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Denda Rp 500.000 Untuk Pembuang Sampah di TPS Lokbin Pasar Minggu Belum Diterapkan

Denda Rp 500.000 Untuk Pembuang Sampah di TPS Lokbin Pasar Minggu Belum Diterapkan

Megapolitan
Warga Boleh Buang Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu pada Pagi Hari, Petugas Bakal Lakukan 'OTT'

Warga Boleh Buang Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu pada Pagi Hari, Petugas Bakal Lakukan "OTT"

Megapolitan
Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Ditahan Selama 7 Hari

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Ditahan Selama 7 Hari

Megapolitan
Dubes Palestina: Gaza Utara Hancur Total, Rafah Dikendalikan Israel

Dubes Palestina: Gaza Utara Hancur Total, Rafah Dikendalikan Israel

Megapolitan
Warga Luar Jadi Biang Kerok Menumpuknya Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu

Warga Luar Jadi Biang Kerok Menumpuknya Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Megapolitan
Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Megapolitan
PKS-Golkar-Nasdem Masih Terbuka ke Parpol Lain untuk Berkoalisi di Pilkada Depok 2024

PKS-Golkar-Nasdem Masih Terbuka ke Parpol Lain untuk Berkoalisi di Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Dukung Penertiban Jukir Liar, Pegawai Minimarket: Kadang Mereka Suka Resek!

Dukung Penertiban Jukir Liar, Pegawai Minimarket: Kadang Mereka Suka Resek!

Megapolitan
Diduga Mengantuk, Sopir Angkot di Bogor Tabrak Pengendara Sepeda Motor hingga Tewas

Diduga Mengantuk, Sopir Angkot di Bogor Tabrak Pengendara Sepeda Motor hingga Tewas

Megapolitan
Pengendara Motor Tewas Usai Ditabrak Angkot di Bogor

Pengendara Motor Tewas Usai Ditabrak Angkot di Bogor

Megapolitan
Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Megapolitan
Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai 'Kompori' Tegar untuk Memukul

Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai "Kompori" Tegar untuk Memukul

Megapolitan
Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com