Malangnya, suami si pengasuh justru menyakiti Dinda. Ada banyak sekali bekas luka dan memar di tubuh Dinda, termasuk di bagian vaginanya. "Dia bisa menceritakan yang dialaminya, tetapi karena masih kecil, dia tidak mengerti. Dia hanya tahu rasanya sakit," kata Maria.
Maria mengatakan, bagi anak sekecil Dinda, luka mental masih belum begitu terasa. Ketika pertama kali datang, Dinda akhirnya bisa tidur nyenyak sedangkan sebelumnya selalu gelisah. Saat ini, ketika luka fisik di tubuhnya sudah mulai sembuh, ia bisa ceria kembali seperti anak- anak lain.
"Namun, kita tak tahu dampak yang mungkin terjadi," ujarnya.
Terungkapnya grup paedofil di media sosial Facebook beberapa waktu lalu makin membuktikan betapa anak-anak rentan menjadi target para predator. Para anggota grup yang diminta aktif mengunggah foto atau video seks dengan anak- anak tentu akan terus mencari anak-anak untuk dijadikan korban. Saat ini beberapa korbannya orang terdekat, sepupu, keponakan, atau tetangga.
Pada kasus ini, anak-anak, selain mengalami kekerasan seksual, juga mengalami kekerasan digital karena otomatis apa yang mereka alami disebarluaskan. Sampai kapan pun, video, foto, dan cerita mereka akan selalu ada di dunia maya, jadi pemuas nafsu manusia-manusia bejat.
Terbentur keterbatasan
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengatakan, kekerasan seksual meninggalkan luka batin yang tak mudah dipulihkan. Semua sangat bergantung pada kondisi setiap pribadi.
"Rehabilitasi korban kekerasan seksual mutlak dilakukan hingga korban dapat kembali pulih. Namun, rehabilitasi tidak bisa maksimal karena berbagai keterbatasan. Bahkan, tidak semua korban bisa mendapatkan kesempatan untuk menjalani rehabilitasi," kata Rita.
Rita menjelaskan, proses yang dilakukan selama ini mencakup rehabilitasi fisik juga psikologis. Namun, ketika korban dikembalikan kepada orangtua atau pihak yang dipercaya dapat menerima dan menjaga korban, tidak semuanya sudah benar-benar pulih. Pada banyak kasus, mereka seharusnya terus dipantau kondisi psikologisnya, sementara tidak banyak orangtua yang memiliki bekal memadai mendampingi anaknya.
"Akibatnya, banyak korban tak bisa pulih sepenuhnya. Padahal, mungkin luka itu tak bisa sembuh, tetapi setidaknya harus diupayakan agar mereka bisa kembali menjalani hidup," ujar Rita.
Ke depan, seharusnya negara dapat memfasilitasi kebutuhan korban kekerasan seksual dari sisi rehabilitasi karena hal itu telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga masih belum dapat menjangkau seluruh wilayah. Sebanyak 242 P2TP2A yang terbentuk hingga 2012 di 33 provinsi hanya bertambah menjadi 263 P2TP2A pada 2015.
"Sebetulnya pemerintah dapat memberdayakan infrastruktur yang sudah ada, yaitu puskesmas kecamatan dan kelurahan. Hanya perlu menambah tenaga konseling di puskesmas, layanan psikologi bagi warga, terutama para korban kekerasan. Juga edukasi kesehatan reproduksi sebagai upaya pencegahan dapat dilakukan para bidan di puskesmas," kata Rita.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 April 2017, di halaman 26 dengan judul "Luka Batin yang Sulit Pulih".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.