JAKARTA, KOMPAS.com - Dahlia Zein, pengacara empat tersangka makar yang ditangkap menjelang aksi 313, membantah seluruh tuduhan polisi terhadap kliennya.
Ia mengatakan kliennya hanya berfokus ke Istana Negara meminta Presiden menurunkan dan memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Pertemuan-pertemuan yang disebut polisi sebagai permufakatan makar, adalah upaya koordinasi.
"Setiap ada yang mau aksi mereka kan koordinasi, jadi ada beberapa gabungan organisasi untuk rapat supaya jangan ada massa yang melakukan aksi-aksi arogansi," kata Dahlia dalam wawancara khusus dengan Kompas TV, Rabu (5/4/2017).
Dahlia mengatakan aksi 313 tak memiliki niat menggulingkan pemerintahan. Kliennya tak mungkin melalukan aksi makar dengan menyampaikan izin terlebih dahulu kepada polisi.
Setelah aksi 313, Dahlia juga mengatakan tak mengetahui adanya rencana menabrakkan truk ke pagar Kompleks Parlemen, masuk melalui gorong-gorong, atau aksi serentak di lima kota. Ia meminta negara tidak sedikit-sedikit menyangkakan orang dengan makar dengan bukti pertemuan atau rapat.
"Dalam undang-undang ada kata-kata setiap warga negara berhak berserikat dan menyatakan pendapat, jadi hak konstitusinya karena dasar negara kita demokrasi, kalau sudah tidak bersuara di mana lagi kita harus berlindung? Tidak ada upaya makar, di sini adalah ekspresi seorang rakyat menyatakan pendapatnya," ujar Dahlia.
Baca: Polisi: Aksi 313 Pemanasan untuk Makar 19 April 2017
Delik formil
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menegaskan pihaknya tak main-main dalam menetapkan kasus makar. Argo menjelaskan bukti awal yang dimiliki polisi sudah masuk dalam tindak pidana.
"Jadi yang namanya permufakatan makar tuh ada pertemuan dan niat, rencana, sudah dapat dikatakan pemufakatan makar di situ. Ya itu yang kita cari, itu saja," kata Argo di Tangerang, Rabu.
Argo mengatakan, pemufakatan makar itu terjadi di dua pertemuan yakni Kalibata, Jakarta Selatan dan Menteng, Jakarta Pusat. Argo mengatakan baru sebatas itu hal-hal yang direncanakan dalam pertemuan.
Polisi mengantongi berita acara pertemuan itu.
"Ini kan baru perencanaan ya, dan niat sudah ada di situ. Ini saja sudah bisa kena. Kita tidak usah berandai-andai sampai selesai aksi, tapi pas merencanakan sudah mengindikasikan, delik formil saja yang kita gunakan," kata Argo.
Baca: "Jangan karena Dikritik Sedikit, Makar!
Delik formil yang dimaksud tertuang dalam Pasal 110 KUHP ayat (2) yang menyebut, "mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain," termasuk dalam definisi pemufakatan jahat untuk makar.
Ancaman hukumannya paling lama 15 tahun, dan 20 tahun untuk pemimpinnya. Jika rencana itu benar terjadi, maka dapat dikenakan pidana dua kali lipat.
Mendefinisikan makar
Adapun pengamata tata negara Refly Harun mengatakan pasal makar yang beririsan tipis dengan kebebasan berpendapat, menjadi dilema bagi kepolisian. Polisi tentu tak salah karena sesuai KUHP, unsur formil sudah terpenuhi.
Masalahnya, menurut Refly, ada pada definisi makar di KUHP.
"Tidak salah juga polisi menjatuhkan delik itu, itu kan unsur delik terpenuhi, perkara kemudian pasalnya pasal karet itu soal terkait bagaimana kemudian mendefinisikan hukum ini secara baik. Karena KUHP ini enggak diganti-ganti puluhan tahun," ujar Refly.
Pasal makar itu kini tengah diajukan judicial review-nya ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan revisi, makar didefinisikan sebagai serangan. Refly melihat dengan definisi yang lebih jelas ini, polisi bisa menciduk mereka-mereka yang secara nyata akan melakukan serangan untuk menggulingkan pemerintah.
Baca: Rentan Kriminalisasi, Pasal Makar Perlu Direvisi
Refly memgatakan bola panas makar sesungguhnya kini berada di MK. Pasal makar yang merupakan warisan Belanda itu, diharapkan tak jadi bumerang bagi penegakan hukum di Indonesia.
"Untuk kepastian besok-besok MK harus menjawab ini," kata Refly.