Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Pilkada DKI dan Suara Betawi di Tebet, Benarkah Segalanya Soal Agama?

Kompas.com - 22/04/2017, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 

SAYA berada di Tebet, Jakarta Selatan, saat hari pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua. Di kawasan yang masih cukup kental karakter Muslimnya ini, Anies Baswedan memenangkan dua putaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta secara mengesankan.

Dia berhasil mengalahkan sang petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, politisi berdarah Tionghoa dan penganut Kristen yang lebih dikenal dengan nama Ahok.

Tebet adalah salah satu benteng terakhir warga Betawi, sebuah masyarakat yang memegang teguh tradisi dan merupakan warga pertama yang tinggal di kawasan tersebut.

Di awal tahun 1960an, ribuan orang Betawi digusur dari Senayan ketika Presiden Soekarno akan membangun sebuah pusat olah raga (kini dinamakan Gelora Bung Karno).

Setengah abad yang lalu, Tebet merupakan daerah berbukit yang ditutupi pepohonan, sangat terpencil dan miskin, sehingga mendapat julukan sebagai tempat “jin buang anak”.

Di tahun-tahun berikutnya, terlepas dari tata letak taman-tamannya yang sedikit aneh, Tebet sudah mulai tertata. Saat ini, bahkan dua ratus ribu penduduk telah mendiami kawasan yang luasnya kurang dari sepuluh kilometer persegi itu: sebuah kampung perkotaan klasik.

Dengan hanya sedikit gedung-gedung bertingkat, Tebet memiliki jalanan yang berbelok-belok, gang-gang dan trotoar kecil, serta kemacetan saat jam-jam sibuk, mulai dari mobil mewah hingga truk barang, bajaj, ojek, dan gerobak yang hampir tidak dapat ditembus.

Pada 14 April 2017, hanya lima hari sebelum pencoblosan, Djarot Saiful Hidayat, pasangan Ahok, menuju masjid Jami Al-Atiq untuk salat Jum'at. Terletak di antara sungai Ciliwung dan jalur kereta api yang sibuk, rumah-rumah di sekitar masjid termasuk yang paling padat di Tebet.

Apa yang terjadi kemudian telah banyak menimbulkan kontroversi di media. Djarot shalat bersama dengan para jamaah dan ketika hendak meninggalkan masjid, warga menyapanya dan meminta berfoto "selfie" dan seketika itu para pengurus masjid tiba-tiba menyerukan jamaah untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim.

Hal ini menjadi titik serang utama lawan-lawan Ahok dalam kampanye yang memecah-belah masyarakat. Ahok sendiri sedang menghadapi sidang penistaan agama yang berbelit-belit karena diduga telah menistakan ayat suci Al-Quran. Tak sedikit yang menganggap peradilan terhadap Ahok ini tidak adil.

Kembali ke Tebet, orang-orang mulai menyatakan dukungannya untuk Anies, tepat saat Djarot pergi. Dalam hitungan menit, insiden tersebut menyebar di media sosial dengan cerita bahwa Djarot telah “diusir” dari masjid.

Peristiwa ini menegaskan bagaimana Jakarta yang tengah memilih Gubernur hampir teracuni oleh sentimen anti-Ahok. Anehnya, kepolisian Jakarta Selatan mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa Djarot tidak diusir, walaupun dari video yang menyebar di media sosial, jelas terlihat sejumlah jamaah masjid meneriaki dia.

Berita tentang kejadian itu menarik perhatian saya, terutama sejak Tebet berubah (setidaknya sejak reformasi) menjadi pusat butik indie ("distro"), kafe dan restoran hipster yang menarik perhatian para pengunjung dari seluruh Jakarta.

Terlepas dari semua sentimen panas terkait Pilkada hari itu, "Bloop," salah satu distro terkenal di daerah itu, sedang dikerubungi pembeli remaja yang melihat-lihat T-shirts dan hoodies dengan desain-desain selera anak muda.

Karena itu, saya pun pergi ke sana untuk lebih memahami situasi kondisi di lapangan. Apakah yang tuliskan media-media mainstream, tentang kaum ekstrim yang telah mengambil alih kota dan sulitnya menantang hal itu atas nama kemoderatan dan keberagaman, sudah tepat?

Apakah Pilkada ini telah menjadi sebuah pertarungan langsung antara yang baik (Anies) dan buruk (Ahok)? Tak dapat dimengerti, mengapa masjid dan jamaahnya, pasca kasus pengusiran Djarot, menolak berbicara. Hal ini mendorong saya untuk mencari petunjuk di tempat lain.

Sampailah saya di jantung kota, Tebet Dalam, di situ banyak terdapat toko-toko funky, warung bebek goreng, serta sebuah biro perjalanan wisata umrah dan haji, yang dikelola oleh Mahfudz Djaelani, seorang tokoh masyarakat Betawi sekaligus mantan anggota DPR yang berusia tujuh puluh tahun dan berjenggot.

Dok Karim Raslan Mahfudz Djaelani (kanan), 70, adalah seorang tokoh Betawi, yang dulunya juga mantan anggota parlemen. Ia sekarang memiliki usaha travel untuk haji dan umrah.
Mahfudz memiliki suara yang sangat serak tapi enak di telinga, seperti karakter suara Don Corleone dalam The Godfather yang diperankan Marlon Brando, tentu saja tidak dengan karakter jahatnya.

Sambil berceramah, dia menjelaskan pandangannya tentang Pilkada ini. "Buat orang Betawi, agama itu nomor satu, tapi bukan berarti kami tidak menerima orang-orang dari agama lain. Saya punya banyak tetangga Kristen, Tionghoa, dan Batak,” ujarnya.

Menurut dia, soal Ahok sebenarnya soal bagaimana cara memperlakukan orang lain, bagaimana bersikap nguwongke (sebuah ekspresi orang Jawa yang berarti memperlakukan orang secara manusiawi). "Ya, Tebet menolak Ahok, tapi salah kalau berpikir dia ditolak karena dia Kristen,” katanya lebih lanjut.

pilkada2017.kpu.go.id Hasil Pilkada DKI Putaran Kedua di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

Mahfudz menjelaskan bahwa bagi banyak orang, faktor lainnya adalah perilaku. Banyak yang menganggap Ahok tidak sopan dan sombong.

“Dalam Betawi, budaya dan tata krama sangat penting,” ujarnya. Lebih jauh dia menuturkan bahwa orang Betawi itu lurus-lurus saja, kalau ada non Betawi juga non-Muslim berbuat baik kepada orang Betawi maka kebaikan mereka akan dikembalikan sepuluh kali lipat. Sebaliknya kalau berbuat buruk akan dibalas dua puluh kali lipat!

Hal ini lantas membuat saya berpikir: Tidak ada keraguan bahwa Anies sangat diuntungkan dari sentimen anti-Ahok.

Ini menjadi satu hal bagi Anies karena sebagai pemimpin, dia harus berupaya keras memperbaikinya. Namun terdapat faktor lain: suka atau tidak suka, pemilih di Indonesia suka para kandidatnya beradab dan santun.

Ahok, dengan logat khas orang Sumatera-nya telah memikat sekaligus menakuti orang-orang di saat yang sama.

Dok Karim Raslan Menurut Mahfudz (kiri), budaya dan sikap merupakan hal yang sangat penting untuk orang Betawi.

Sementara tak ada keraguan bahwa dirinya merupakan pelopor bagi kalangan minoritas Indonesia, kegagalan Ahok dalam mengubah perilaku membuat musuh-musuhnya lebih mudah untuk menyerangnya.

Selain itu, kebijakan-kebijakannya, termasuk penggusuran kawasan kumuh yang kontroversial, yang populer bagi kalangan kelas menengah, justru mendorong pemilih yang kurang mampu untuk memilih pesaingnya.

Jadi, ya, isu agama sangat krusial dalam pemilihan di Jakarta, namun begitu juga dengan isu-isu seperti kepribadian seseorang dan kebijakannya. Ini juga menjadi sebuah catatan pekerjaan: Anies harus menemukan cara untuk memutus lingkaran ketidaksetaraan bagi banyak wong cilik (orang kecil) yang telah memilihnya menjadi Gubernur.

Kegagalan dalam melakukan hal tersebut hanya akan membuatnya berbagi nasib seperti Ahok tanpa melihat kesalehannya.

Kompas TV Usai Shalat Jumat, Djarot Diteriaki Warga

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com