JAKARTA, KOMPAS.com -Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2015 seharga Rp 668 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno. Pembelian dilakukan Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta (sekarang bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta). Lahan itu dibeli untuk pembangunan rumah susun (rusun).
Pembelian itu belakangan dipermasalahkan saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, lahan itu juga terdata sebagai milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) DKI Jakarta. Jika demikian, Pemprov DKI telah membeli lahannya sendiri.
BPK menilai ada indikasi kerugian negara saat proses pembelian lahan tersebut. Penyelidikan kasus lahan Cengkareng Barat kemudian mulai dilakukan Bareskrim Polri sejak 27 Juni 2016.
Saat itu Pemprov DKI Jakarta membatalkan rencana pembangunan rusun di lokasi itu karena karena lahan yang akan digunakan statusnya bermasalah.
Baca juga : Menang Dalam Kasus Lahan Cengkareng, DKI Berhak Tagih Rp 668 Miliar
Rusun di Cengkareng Barat rencananya akan terdiri dari dua menara, setiap menara atau tower terdiri dari 16 lantai. Total unit yang akan dibangun adalah 552 unit.
Kasus pun bergulir, sejumlah saksi dipanggil dalam kasus itu, termasuk mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok diperiksa pada 14 Juli 2016. Saat itu Ahok membeberkan proses pembelian lahan Cengkareng Barat.
Tak hanya Ahok, Bareskrim Polri juga memanggil Djarot Saiful Hidayat yang saat itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarya, pejabat dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta serta Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah, Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah, Kepala Dinas Penataan Kota Benny Agus Chandra, dan Asisten Sekda bidang Pembangunan Gamal Sinurat.
Pada saat itu, upaya mediasi antara Pemprov DKI Jakarta dengan Toeti sempat dilakukan. Meski demikian tak ditemui kata sepakat dari kedua belah pihak. Toeti justru mengajukan gugatan hukum terhadap Pemprov DKI Jakarta.
Toeti tak terima jika Pemprov DKI memasukkan lahan di Cengkareng Barat sebagai aset milik pemerintah. Menurut Toeti, dirinya yang memiliki lahan itu dengan bukti sertifikat hak milik (SHM) No 13069/Cengkareng, SHM No 13293/Cengkareng, dan SHM No 13430 dengan total luas lahan 46.913 meter persegi.
Untuk itu, dia meminta agar Pemprov menghapus lahan di Cengkareng Barat dari Kartu Inventaris Barang (KIB) Pemprov DKI. Namun, pihak Pemprov menolak permintaan itu dan lebih memilih untuk melawan Toeti di pengadilan.
"Mediasi gagal, yang dia inginkan kan untuk melepaskan (lahan) dari KIB, dan itu enggak mungkin," ujar Kasubag Sengketa Hukum Biro Hukum Pemprov DKI, Johan, pada 25 Juli 2016.
Pihak Toeti mengklaim telah membeli lahan itu dari pemilik sah, di antaranya Thio Tjoe Nio. Thio menjual kepada suami Toeti, Koen Soekarno, lahan seluas 51.190 meter persegi pada 16 September 1967.
Toeti bahkan menuntut Pemprov membayar kerugian materiel senilai Rp 200 miliar. Tak hanya itu, Toeti meminta Pemprov membayar lost opportunity (kerugian) senilai Rp 500 juta dan kerugian immateriel sebesar Rp 800 juta. Namun, hakim kemudian memutuskan gugatan Toeti tidak dapat dilanjutkan.
Pada 6 Juni 2017 majelis hakim yang menangani kasus itu memutuskan perkara tidak dapat diterima. Dengan kata lain, Pemprov menang dan lahan seluas 4,6 hektare itu kembali ke tangan pemerintah.
Meski demikian BPK menilai adanya kerugian negara akibat pembelian lahan itu. Uang senilai Rp 668 harus dikembalikan terlebih dahulu sebelum Pemprov DKI menggunakan lahan tersebut.
Sorotan Sandiaga