PALU, KOMPAS.com - Sudah hari ke-14 pascagempa dan tsunami, pengungsi Palu merasakan panasnya matahari dalam tenda pengungsian.
Kamis (11/10/2018), matahari masih serasa menusuk kepala dan kulit, padahal waktu sudah menjelang sore.
Sinarnya menerobos rongga tenda pengungsi yang terletak di Balai Kota, Tanamodindi, Mantikulore, Palu, Sulawesi Tengah, itu.
Sepuluh menit saja di dalam tenda, keringat langsung berkucuran membasahi tubuh.
Kondisi tersebut membuat pipi Nurjanah (53), salah seorang pengungsi, memerah.
Baca juga: Cegah Penularan Virus dari Mayat, Petugas Sisir Lokasi Gempa Palu
"Pascagempa ini memang panas banget sih," kata Nurjanah, sambil mengipas-ngipas kertas ke wajahnya, saat ditemui di lokasi pengungsian, Kamis.
Tenda dari terpal plastik berwarna biru yang hanya cukup untuk menampung 10 orang itu tidak melindungi para pengungsi dari panas matahari.
Tempat pengungsian ini ditempati para korban yang masih trauma akan gempa dan tsunami, dan belum berani untuk pulang ke rumah.
Di dalam tenda pengungsi, selimut, cemilan, baju, nampak berserakan. Termasuk alat-alat untuk memasak.
Adapula terpal yang dipasang berbentuk persegi yang berfungsi sebagai lokasi buang air kecil.
Sementara, untuk mandi, para pengungsi masih kesulitan. Nurjanah sendiri sering mandi di masjid, atau kadang hanya memakai tisu basah jika tidak bisa mandi.
Merindukan rumah
Nurjanah mengaku, dirinya sangat merindukan rumahnya. Ia menyebut, rumahnya di dekat Pantai Talise sangat sejuk dan nyaman.
Baca juga: Batik Karya Penyandang Disabilitas untuk Korban Gempa Palu
“Rasanya ingin pulang ke rumah nonton televisi seperti biasanya. Duduk-duduk di depan rumah enak rasanya,” ucap Nurjanah.
Namun, gempa dan tsunami telah memporak-porandakan rumahnya yang kala itu baru saja diperbaiki.
“Rumah saya sudah tidak berbentuk sekarang. Kotor sudah, atap roboh, kemarin ditemukan banyak mayat di sekitar rumah, makanya saya takut pulang ke rumah,” ujar Nurjanah.
Ia tidak bisa melupakan momen saat gempa dan tsunami menerjang rumahnya. Kejadian itu, lanjut dia, berlangsung sangat cepat.
“Saya sudah melihat air laut itu seperti dirasuki setan yang mengejar-ngejar saya dan keluarga saya kala itu,” ucap Nurjanah.
Baca juga: Pengungsi Gempa dan Tsunami Asal Palu Capai 400 Orang di Luwu
Nurjanah selamat setelah berlari dari Pantai Talise ke Balai Kota, yang jadi tempat pengungsiannya saat ini.
Ia tidak bisa memastikan sampai kapan dirinya dan keluarga bisa bertahan tidur di pengungsian dengan kehidupan seperti sekarang.
“Saya sudah trauma tinggal di rumah dan tiba-tiba gempa tsunami menerjang rumah kami lagi,” tutur Nurjanah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.