JAKRTA, KOMPAS.com - Fikri Pribadi (23) jadi salah satu pengamen yang jadi korban salah tangkap polisi, enam tahun lalu dituduh melakukan pembununah di kolong jembatan, samping kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Melongok ke belakang, peristiwa pembunuhan korban bernama Dicky (20) tersebut terjadi pada 30 Juni 2013.
Warga Petukangan, Pesanggerahan, Jakarta Selatan, itu dibunuh enam orang temannya sesama pengamen. Salah satu yang diduga pelakunya adalah Fikri.
Kabid Humas Polda Metro Jaya saat itu, Komisaris Besar Rikwanto mengatakan bahwa enam orang yang ditangkap polisi berinisial NP (23), FP yakni Fikri Pribadi (16), AS (18), BF (17), F (13), dan APS (14).
Menurut Rikwanto kala itu, terungkapnya pembunuhan berawal dari laporan 3 pelaku yakni AS, BF dan APS kepada tukang ojek sekitar tempat kejadian perkara mengenai adanya penemuan mayat.
Baca juga: Kisah Fikri Pribadi, Pengamen yang Tuntut Polisi dan Jaksa demi Keadilan
Tukang ojek kemudian meneruskan laporan tersebut ke pihak kepolisian.
"Setelah dilakukan penyelidikan muncul kecurigaan tentang lingkungan (TKP) dan korban. Penyidik menemukan adanya kejangalan dari keterangan pelaku (tiga saksi yang melapor)," kata Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Senin (1/7/2013)
Tiga orang tersebut mengatakan bahwa Dicky belum tewas saat mereka temukan di lokasi kejadian.
Dicky, kata pelapor, bahkan memberikan pengakuan bahwa telah dikeroyok akibat melakukan pencurian motor. Namun, polisi yang curiga dengan alibi ketiga pelapor kemudian melakukan penyelidikan.
Kepala Subdit Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Herry Heryawan yang saat itu melakukan penyelidikan menjelaskan detik-detik keenam orang tersebut menghabisi Dicky.
"Korban diajak turun ke bawah jembatan lalu dihabisi. Alasanya, mau (ajak korban) minum sama-sama," ujar Herry.
Polisi menyebut bahwa tersangka NP berperan sebagai inisiator yang melakukan penganiayaan terhadap Dicky. NP juga menusuk dada kirinya dan melukai beberapa bagian tubuh Dicky menggunakan pisau lipat.
Tersangka FP membacok pipi kanan Dicky menggunakan golok dan ikut menggotong mayatnya ke tempat yang lebih tersembuyi.
Tersangka AS memukul beberapa kali ke arah kepala korban, menusuk leher dan pinggang korban, dan ikut menggotong mayat korban menuju ke tempat yang lebih tersembuyi.
Sementara tersangka BF memukul, memegangi tubuh korban, dan ikut menggotong. Tersangka F memukul, memegangi tubuh korban, dan ikut menggotong.
Tersangka APS juga memiliki peran yang sama. "Mereka melakukannya dalam keadaan mabuk," ujar Herry.
Baca juga: Pengakuan Fikri Pribadi, Dipukul hingga Disetrum Polisi untuk Akui Pembunuhan di Cipulir
Alhasil, enam orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dengan dijerat dengan Pasal 338 KUHP dan Pasal 170 Ayat 2 ke 3 E KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun.
Berkas mereka pun naik ke Kejaksaan dan sampai ke meja hijau. Hasil persidangan menyatakan mereka bersalah dan mengharuskan untuk menjalani hukuman penjara.
Belakang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berhasil membuktikan dua pelaku tidak bersalah. Mereka membebaskan dua orang dua pengamen yakni NP (23) dan AS (18).
"Praperadilan ini juga merupakan kali kedua setelah sebelumnya PN Jaksel memberikan ganti rugi kepada kedua terdakwa lainnya yang saat itu sudah dewasa, Andro dan Nurdin, melalui Penetapan Nomor 98/Pid.Prap/ZOlG/PN.Jkt.Se| sejumlah Rp. 36.000.000,(tiga puluh enam juta rupiah) karena disiksa dan dipenjara selama 7 (tujuh) bulan," kata kuasa hukum para pengamen yang juga anggota LBH Jakarta, Oky Wiratama melalui siaran persnya Rabu (17/7/2019).
"Kedua orang dewasa yang ikut dituduh membunuh bersama mereka ini telah dibebaskan lebih awal oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Putusan Nomor 50/PlD/201/PT.DKI pada S Maret 2014," tambah dia.
Baca juga: Digugat 4 Pengamen Rp 746 Juta, Kepolisian Merasa Tak Salah Tangkap
Selanjutnya, keempat anak lainya yang masih dibawa umur ini juga berhasil diperjuangkan hingga bebas oleh LBH Jakarta. Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Merekapun bebas pada tahun 2016. Selang tiga tahun kemudian, LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.
"Berhak ganti kerugian karena kan ditangkap, ditahan padahal mereka kan enggak bersalah. Selama ini harusnya bisa kerja akhirnya gara-gara dipidana enggak kerja kan, hal hal seperti ini yang dituntut," kata Oky.
Kerugian yang dituntut pihak LBH sebesar Rp 186.600.000 untuk per anak. Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama dipenjara. Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000.
Mereka memperjuangkan ganti rugi tersebebut dalam sidang praperadilan di pengadilan negeri Jakarta Selatan dengan termohon Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI.
Tentunya Oky, Fikri dan ketiga teman lainya yang jadi korban berharap Polda Jaya dan kejaksaan tinggi DKI mau bertanggung jawab atas kasus salah tangkap tersebut.
Yang lebih utama, mereka berharap kedua institusi besar itu mau mengakui perbuatannya lantaran salah mempindanakan orang.
"Selama ini ditahan dia nggak sekolah dan lain-lain, itu yang harus dituntut. Dan pihak kepolisian harus menyatakan bahwa memang harus mengakui kalau mereka salah tangkap, gak fair dong," ucap Oky.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.