JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi membongkar keberadaan kelompok yang merencanakan aksi untuk menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden RI terpilih di gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Minggu (20/10/2019).
Kali ini, kelompok yang tergabung dalam grup WhatsApp bernama F itu akan menggunakan bahan peledak berupa "peluru katapel" atau bom katapel untuk menggagalkan pelantikan.
Peluru katapel adalah bahan peledak yang menggunakan katapel kayu atau besi serta bola karet.
Bola karet yang berisi bahan peledak itu akan dilempar ke dalam gedung DPR/MPR saat acara pelantikan berlangsung.
Kelompok tersebut masih berkaitan dengan aksi penggagalan pelantikan yang direncanakan oleh dosen nonaktif Institut Pertanian Bogor (IPB) Abdul Basith.
Baca juga: Kelompok Peluru Katapel Juga Ingin Gagalkan Pelantikan Presiden dengan Melepas Monyet
Sebelumnya terungkap, Abdul Basith terlibat dalam peledakan menggunakan bom molotov saat kerusuhan di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat, pada 24 September serta rencana peledakan bom rakitan saat aksi unjuk rasa Mujahid 212 pada 28 September.
Polisi menangkap enam tersangka terkait perencanaan bom katapel tersebut, masing-masing berinisial SH, E, FAB, RH, HRS, dan PSM.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, keenam tersangka memiliki peran yang berbeda-beda dalam merencanakan aksi peledakan.
Tersangka SH merupakan mantan pengacara. Dia berperan sebagai pencari dana untuk membuat bom katapel, menyediakan katapel jenis kayu dan besi, dan membuat grup WhatsApp guna koordinasi perencanaan aksi.
"Peluru katapel itu nantinya digunakan untuk menyerang aparat (di gedung DPR RI)," ungkap Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin.
Tersangka kedua berinisial E merupakan ibu rumah tangga. Dia ditangkap di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Baca juga: IRT Jadi Penyandang Dana Kelompok Peluru Katapel untuk Gagalkan Pelantikan Jokowi-Maruf
Tersangka E, menurut Argo, berperan sebagai orang yang menyediakan sebuah rumah khusus untuk dijadikan tempat pembuatan 'peluru katapel' serta membiayai pembuatannya.
Saat diamankan, tersangka E tengah membuat bom katapel bersama tersangka SH.
Tersangka ketiga, FAB seorang wiraswasta. Dia berperan untuk membuat bom katapel, menyediakan tempat untuk pembuatan bom katapel itu, hingga mendanai pembuatan bahan peledak.
Menurut keterangan polisi, tersangka FAB telah memberikan uang senilai Rp 1,6 juta kepada tersangka SH untuk pembuatan bom katapel.
Tersangka keempat adalah RH yang ditangkap di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dia berperan membuat katapel dari kayu yang nantinya dijual ke tersangka SH.
Dia menjual sebuah katapel kayu seharga Rp 8.000. Sementara itu, tersangka SH telah memesan 200 katapel kayu kepadanya.
Tersangka selanjutnya berinisial HRS yang ditangkap di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Dia berperan sebagai penyandang dana pembuatan bom katapel. Tersangka HRS diketahui telah memberikan uang senilai Rp 400.000 kepada tersangka SH.
Tersangka terakhir yang diamankan adalah PMS. Dia berperan sebagai orang yang membeli katapel dan karet katapel secara online.
"Saat ditangkap, yang bersangkutan (tersangka PSM) berusaha lari dengan memanjat atap rumah," ujar Argo.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 169 ayat 1 KUHP dan atau Pasal 187 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Undang-Undang Darurat dengan ancaman hukuman lima sampai dua puluh tahun penjara.
Selain menggunakan bahan peledak jenis bom katapel, kelompok itu juga merencanakan aksi melepas monyet di gedung DPR/MPR RI dan Istana Negara saat pelantikan.
Bahkan, menurut Argo, kelompok itu telah menyiapkan 8 ekor monyet yang akan dilepas.
"Ada juga ide dari kelompok ini yaitu melepas monyet di gedung DPR RI. Sudah disiapkan 8 ekor (monyet), sudah dibeli, tapi belum sempat dilepas," kata Argo.
Argo menjelaskan, pelepasan monyet itu bertujuan untuk membuat kegaduhan saat acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
Baca juga: Kelompok Peluru Katapel Juga Ingin Gagalkan Pelantikan Presiden dengan Melepas Monyet
"Monyet akan dilepaskan di gedung DPR RI dan Istana Negara biar gaduh," ungkap Argo.
Untuk berkoordinasi dalam merencanakan aksi peledakan, kelompok itu tergabung dalam grup WhatsApp yang beranggotakan 123 orang.
Dalam berkomunikasi melalui WhatsApp, kata Argo, anggota grup menggunakan sebuah sandi khusus yang biasa disebut sandi mirror.
Sandi mirror artinya mengganti huruf dalam keyboard ponsel yang seolah-olah hasil proyeksi dalam cermin. Contohnya mengganti huruf A menjadi huruf L dan mengganti huruf Q dan P.
Penggunaan sandi dalam berkomunikasi bertujuan untuk mencegah orang lain memahami isi percakapan dalam grup itu.
"Komunikasi dengan sandi mirror agar banyak orang enggak tahu (isi percakapan)," ujar Argo.
Grup itu juga berisi pesan berantai hoaks terkait isu komunisme dan tenaga kerja asing (TKA) asal China.
"Di dalam WhatsApp grup, ada beberapa (anggota grup) yang memengaruhi suatu kegiatan yang belum diyakini benar. (Anggota grup) di-brain wash (cuci otak) bahwa komunisme sedang berkembang di Indonesia," kata Argo.
Argo menjelaskan, salah satu berita hoaks yang pernah disebar di grup tersebut adalah paham komunisme yang memengaruhi ideologi Pancasila dan isu China yang menguasai pemerintahan di Indonesia.
"Tersangka FAB bergabung dalam grup dan meyakini komunis semakin berkembang. Indikatornya ada polisi China yang diperbantukan untuk mengamankan unjuk dan disenjatai lengkap, padahal tidak ada," ujar Argo.
"Ada juga isu TKA China yang masuk ke Indonesia. Anggapannya orang China menguai pemerintahan," lanjutnya.
Eggi Sudjana juga tergabung dalam grup WhatsApp itu. Eggi pun telah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Polda Metro Jaya.
Saat memeriksa Eggi, polisi juga turut memeriksa ponselnya. Dalam ponsel tersebut, polisi menemukan sebuah percakapan yang berisi ajakan untuk menyumbang dana dalam pembuatan bahan peledak yang dikirim oleh salah satu tersangka.
Baca juga: Hanya Diperiksa Sebagai Saksi, Eggi Sudjana Dipulangkan oleh Polisi
Bahan peledak jenis nitrogen itu akan digunakan untuk menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
Namun, Eggi Sudjana tak membalas pesan ajakan menjadi penyandang dana tersebut.
"Beliau (Eggi Sudjana) ditawari dalam japrinya (jaringan pribadi) dikatakan bahwa "mau buat bom nitrogen gak? mau menyumbang tidak?" Tapi beliau tidak respons (pesan japri)," ungkap Argo.
Karena itu, Eggi hanya diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Polda Metro Jaya. Saat ini, Eggi telah dipulangkan oleh penyidik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.