JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu belakangan, masyarakat dihebohkan dengan banyaknya kemunculan ular kobra di tengah-tengah permukiman masyarakat.
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan fenomena apa yang sedang terjadi di tengah-tengah mereka.
Tak sedikit masyarakat yang mengaitkan peristiwa tersebut dengan kemungkinan bencana bahkan hal-hal mistis.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para pemerhati ular mengatakan bahwa sebenarnya kemunculan ular-ular kobra ini adalah sebuah siklus tahunan.
Bulan Desember adalah bulan telur-telur ular kobra menetas.
Namun, Igor dari Komunitas Taman Belajar Ular Indonesia mengatakan, ada satu hal yang menjadi faktor utama meningkatnya temuan ular kobra di akhir tahun ini yaitu kemarau panjang.
Igor menjelaskan, pada tahun-tahun sebelumnya, di bulan September hujan sudah turun di kawasan Jabodetabek.
Baca juga: Berbahaya, Jangan Langsung Bunuh Saat Bertemu Ular Kobra
Turunnya hujan lantas membuat telur-telur ular kobra cenderung berlumut, membusuk, hingga akhirnya gagal menetas.
"Biasa September itu sudah mulai hujan, otomatis si telur ini sudah membusuk duluan. Tapi karena ini kemarau panjang, Desember kita hujan jadi ular menetas sempurna," kata Igor di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara, Kamis (19/12/2019).
Selain itu, kurangnya predator anakan ular kobra seperti musang, biawak hingga jenis ular lain di kawasan Jabodetabek juga jadi salah satu sebab.
"Kejadian ini baru sekarang saja terjadi, kalau tahun lalu tidak sebanyak ini dan ternyata rata di Kalimantan pun sama," ujar Igor.
Sementara itu, Ave dari komunitas Aspera mengatakan, sebenarnya tak hanya ular kobra yang saat ini banyak beredar.
Akan tetapi ular-ular lain jarang menjadi sorotan karena cenderung tidak berbisa dan juga cenderung bersembunyi apabila mendengar keberadaan manusia.
Baca juga: Tabur Garam untuk Cegah Ular Masuk Rumah Hanya Mitos, Ini Cara yang Benar
Berbeda dengan kobra yang memiliki mekanisme pertahanan diri yakni melawan dengan membesarkan kepalanya saat sedang terancam.
Tapi, warga patut waspada terhadap seluruh ular yang mungkin muncul baik yang berbisa atau tidak.
"Karena ular itu giginya taring semua, enggak punya gigi seri, geraham. Kalau gigit ya ketusuk semua, kalau ketarik bisa robek, pendarahan ya mati juga," ujar Ave.
Terkait solusi pencegahan ular, Ave sempat menyinggung tentang penggunaan garam yang cukup populer di tengah masyarakat.
Menurut dia, penggunaan garam hanyalah sebuah mitos karena tidak berpengaruh apa-apa terhadap ular.
Penggunaan bahan-bahan yang memiliki bau menyengat lebih tepat sebagai opsi mengusir ular kobra dari permukiman.
Penggunaan bensin, cairan pembersih lantai, hingga minyak wangi bisa menjadi salah satu opsi agar ular tidak masuk ke dalam rumah.
Baca juga: PPSU Kelurahan Disarankan Dilatih Tangani Ular
"Tapi kalau bensin bahaya dan kalau bentuknya cair kayak karbol, minyak wangi, pembersih lantai itu kan menguap secara cepat," ucap Ave di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (19/12/2019).
Ia lebih menganjurkan bau-bauan yang bersumber dari benda padat seperti sulfur ataupun kapur barus.
Bau-bauan dari benda padat itu dianggap cukup efektif untuk mencegah ular masuk kedalam rumah serta bisa bertahan lebih lama.
Igor juga menyarankan agar warga tidak serta-merta membunuh ular kobra apabila bertemu dengan mahluk tersebut.
Ia mengatakan kebanyakan warga membunuh ular kobra dengan menghancurkan kepalanya. Padahal langkah itu bisa membuat bisa ular pecah dan terciprat ke mana-mana.
Saat bisa ular itu terpecah bisa terkena mata atau sisa-sisa bisa ular di lantai bisa terinjak kaki yang terkena bekas luka.
Igor menyebutkan, bisa ular yang terkena luka sama berbahayanya dengan terkena gigitan ular kobra.
"Sepersekian detik, bisa terkena darah bisa langsung membentuk kristal," ujar Igor.
Dalam diskusi bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu, Igor lantas memberi usulan kepada pemerintah agar melepaskan predator ular kobra untuk menekan populasinya.
Beberapa hewan yang bisa dilepas pemerintah untuk mengontrol populasi ular yakni elang jawa dan burung hantu.
Hal itu diperlukan karena populasi pemangsa ular kobra kini banyak dipelihara manusia atau bahkan tergusur karena pembangunan yang dilakukan.
Igor menyampaikan, komunitasnya sudah melakukan uji coba di Pulau Kalimantan dan berhasil mengontrol populasi ular kobra.
Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Digigit Ular?
"Untuk di Jakarta itu Burung Hantu cocok ya, karena dia bisa bertahan di gedung-gedung asalkan ada sarangnya yang dibuat nyaman bagi mereka.
Selain itu, Novandry, anggota dari komunitas dekat bareng reptil (Debar) mengatakan, ilmu penanganan ular diperlukan bagi para PPSU karena pekerjaan mereka berpotensi bersinggungan dengan reptil tersebut.
"Kan PPSU ini kerjanya di lapangan, di comberan, di kali-kali di tempat-tempat perkebunan. Mereka lebih cenderung orang pertama yang akan terjadi konflik antara ular kobra dan mereka," kata Novandry
Hal itu dibuktikan dengan informasi temuan ular yang ditangani oleh Debar kebanyakan berasal dari PPSU.
Rata-rata, kata Novandry, PPSU akan mencari pertolongan untuk mengevakuasi ular karena mereka tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan menangani hewan melata itu.
Padahal, dalam waktu singkat ular bisa saja kabur atau bahkan membahayakan warga sekitar.
"Komunitas reptil bisa membantu untuk mengedukasi para PPSU untuk penanganan ular," ujar Novandry.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.