JAKARTA, KOMPAS.com - Awal 2020 yang sekaligus menjadi awal dekade baru diwarnai banjir yang menggenangi beberapa titik di wilayah Jabodetabek.
Banjir yang melanda Jabodetabek ini telah membawa kerugian bagi masyarakat.
Kerugian yang dirasakan antara lain kerugian material dan kehilangan nyawa anggota keluarga.
Tentu tidak ada yang mengharapkan bencana alam terus melanda tempat tinggal mereka.
Pemerintah pun membuat kebijakan yang diharapkan dapat menanggulangi banjir.
Salah satunya kebijakan normalisasi dan naturalisasi yang dilakukan pemerintah Kota Jakarta.
Namun, kebijakan normalisasi yang diusung pemerintah pusat ditentang oleh Walhi.
Baca juga: Ahli: Soal Normalisasi dan Naturalisasi Kita Enggak Harus Memilih
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, normalisasi yang dimaksud pemerintah adalah upaya penanggulangan banjir dengan konsep betonisasi di pinggir kali atau sungai.
Sementara naturalisasi yakni menanam sejumlah pohon di sepanjang kali.
“WALHI Jakarta menolak konsep normalisasi ala pemerintah dengan cara betonisasi, karena berpotensi memperparah banjir,” ujar Tubagus.
Meski begitu, kata Tubagus, bukan berarti Walhi menganggap naturalisasi lebih baik dan mendukung sepenuhnya kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu.
“Kalo dari sisi kebijakan, naturalisasi (isi peraturannya) kami belum setuju karena peran masyarakat masih sempit dalam kebijakan tersebut,” ujar Tubagus.
Tubagus menyebutkan hal-hal yang mereka kritisi terkait kebijakan naturalisasi yang dikeluarkan Anies.
Salah satunya pelibatan masyarakat lokal atau komunitas tapak dalam perencanaan tidak dimasukkan.
Tubagus menjelaskan bahwa sebetulnya praktik naturalisasi sudah dilakukan beberapa komunitas sebagai bentuk perlindungan sungai agar tidak dibetonisasi sejak lama.