Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Hanya Andalkan Pemerintah, Solidaritas Warga Lebih Efektif Selama Karantina Wilayah

Kompas.com - 31/03/2020, 07:56 WIB
Vitorio Mantalean,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu karantina wilayah atau local lockdown belakangan kian kencang bunyinya seiring dengan terus meluasnya penularan Covid-19 dalam sebulan ini.

Per Senin (30/3/2020), pemerintah pusat mengumumkan total 1.414 kasus Covid-19, dengan 75 pasien berhasil sembuh, namun 122 di antaranya meninggal dunia.

Meski begitu, pemerintah masih ada dalam posisi menimbang berbagai kemungkinan dampak yang timbul akibat kebijakan karantina wilayah.

Pemerintah pusat sejauh ini belum tegas menyatakan karantina wilayah, melainkan "pembatasan sosial skala besar"; sebuah keputusan yang sudah diteken beberapa kepala daerah di Jabodetabek dua pekan terakhir.

Baca juga: Anies Minta Pusat Terapkan Karantina Wilayah di Jakarta, dengan Syarat...

Mengenai efektivitas kebijakan karantina wilayah oleh pemerintah, sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo menilai bahwa kebijakan ini mesti berpangkal dari data yang akurat.

Data ini penting agar masyarakat yang nafkah hariannya berhenti akibat karantina wilayah, tetap dapat bertahan hidup melalui sokongan pemerintah.

"Sebelum apapun kebijakan dilakukan, harusnya ada social mapping. Kesiapan menjadi penting," ujar Imam kepada Kompas.com, Senin (30/3/2020).

"Jadi kalau sekarang baru mulai didata, mungkin pada dasarnya bisa dimulai dulu dari data pelanggan PLN yang di bawah 450 watt. Dari situ ketahuan, masyarakat yang kekuatan ekonominya relarif di bawah," ia memberi usul.

Meski demikian, data itu belum tentu sepenuhnya akurat. Imam mendesak aparat pemerintah, mulai dari tingkat camat hingga RT berkoordinasi selekas mungkin.

Kalau bisa, mereka langsung turun ke lapangan untuk memverifikasi data soal kalangan miskin yang butuh perhatian lebih, bersama aktivis sosial.

Baca juga: Polda Metro: Tak Ada Penutupan Jalan, Simulasi Hanya Pakai Peta

Hasil pendataan itu nantinya akan membentuk pola-pola klaster masyarakat prasejahtera yang mesti diperhatikan lebih.

Berbekal pemetaan seperti itu, pemerintah seharusnya akan banyak terbantu guna menentukan teknis penyaluran bantuan dan dukungan.

Pemerintah bisa mengambil opsi diskon biaya listrik atau air, misalnya, seperti kebanyakan negara yang telah mengambil kebijakan lockdown, sebagai kompensasi karena warganya 24 jam harus berdiam di rumah.

Pemerintah bisa pula memberi masing-masing dari mereka tanda pengenal, semisal berbentuk kupon, untuk ditukar dengan paket sembako.

"Sembako itu bisa diantar 3 hari sekali dari pintu ke pintu untuk masyarakat prasejahtera. Malah itu pasukan ojol bisa dikerahkan dan mereka dapat pemasukan juga," jelas Imam.

"Tetapi sekali lagi, pendataan harus bagus dan mereka yang berhak itu punya kupon, misalnya," ia menegaskan.

Dari lingkup terkecil

Meskipun kebijakan karantina wilayah pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah, namun Imam meyakini bahwa masyarakat bisa melakukannya secara swadaya tanpa harus lama menunggu keputusan pemerintah.

Karantina wilayah dapat diawali dari lingkup atau komunitas terkecil, seperti kampung, RT, dan RW, seperti yang mulai bermunculan di beberapa wilayah di Indonesia.

Imam menganggap, langkah ini nantinya lebih efektif, karena masyarakat di dalamnya saling menyadari kebutuhan masing-masing.

"Harusnya masyarakat sendiri yang melarang dan masyarakat sendiri yang membantu warga warga yang betul-betul kepepet," Imam menjelaskan.

Baca juga: Tiga Dasar Hukum Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil, Salah Satunya Perppu Era Soekarno

Tentu saja, isolasi ketat ini bukan berarti arus keluar-masuk lingkungan tempat tinggal sepenuhnya dikunci.

Pergerakan keluar-masuk untuk berbagai kebutuhan vital seperti logistik, serta kelonggaran untuk warga yang terlilit keperluan mendesak tetap mesti dibuka.

Agar dapat berjalan mulus, menurut Imam, mula-mula komunitas RT dan RW harus satu pemahaman dulu soal pentingnya karantina wilayah dari Covid-19, dimulai dari penyadaran warga.

Penyadaran ini bertujuan agar setiap penghuni merasa bahwa karantina wilayah tidak dianggap sebagai keputusan sepihak pemerintah, melainkan memang untuk melindungi keselamatan mereka sendiri.

Dengan begini, antarwarga pun bisa tergerak untuk saling mengawasi dan memperhatikan satu sama lain.

Pendekatan ini jauh lebih mengena karena berpangkal pada kesadaran warga.

Bahkan, warga bisa bahu-membahu membantu kelompok yang kekurangan di lingkungan mereka agar tak merana akibat karantina wilayah.

"Kalau itu sudah bergerak oleh masyarakat sendiri, itu akan jauh lebih efektif daripada represif oleh aparat pemerintah," kata dia.

"Jadi lebih baik block to block isolation, karantina komunitas. Setiap komunitas harus sepakat apa yang harus dibatasi," Imam menambahkan.

Andalkan solidaritas warga, bukan pemerintah semata

Melalui pendekatan tadi, Imam yakin bahwa selama masa karantina wilayah akibat Covid-19, masyarakat dapat bertahan hidup.

Kuncinya adalah solidaritas antarwarga -- sesuatu yang lebih konkret dapat diandalkan ketimbang menanti uluran tangan pemerintah yang lambat dan berbelit.

"Buat gerakan sosial mempertahankan sembako. Sembako yang di undang-undang harusnya disediakan oleh pemerintah, tapi nggak bisa dalam situasi ini hanya menggantungkan pemerintah," jelas Imam.

"Pokoknya jangan hanya mengandalkan pemerintah. Kalau mereka bisa, alhamdulillah, tapi kalau enggak, ya kita sendiri," kata dia.

Ketimbang lama menunggu langkah pemerintah, kata Imam, solidaritas oleh tetangga atau siapa pun yang mampu membantu akan sangat berharga untuk menolong warga dengan kelas ekonomi rendah.

"Kayak zakat fitrah saat Idul Adha gitu kan bisa. Lihat kelasnya. Sama saja kayak orang zakat fitrah, yang kelas ekonomi di bawah enggak wajib nyumbang," ujar Imam.

Selain itu, solidaritas sosial sejenis ini juga bakal menghindarkan warga yang butuh bantuan dari rumitnya birokrasi pemerintah.

Pasalnya, jika mengikuti birokrasi, ada saja peluang buruh-buruh dari luar daerah tak kebagian jatah bantuan logistik.

Ambil contoh, kuli-kuli di Jakarta yang datang dari luar Ibu Kota. Mereka kecil kemungkinan masuk dalam kelompok penerima bantuan, karena data domisili mereka dari luar Jakarta.

"Padahal, kalau dia memang tinggal di Jakarta, dia juga bagian dari masyarakat... Kalau pemerintah mau membantu, ya, alhamdulillah, tapi dia (pemerintah) pasti takut," ujar Imam.

"Ya maka masyarakat saja yang bantu. Kan kita enggak punya aturan bahwa dalam memberi, harus memberi pada hanya sesama warga Jakarta. Kalau kita melihat ada warga yang terancam kelaparan ya kita bantu, duit-duit kita kok," jelas dia.

Dengan mekanisme ini, praktis hal-hal yang mestinya jadi tanggung jawab pemerintah telah diambil alih warganya.

Pemerintah bisa fokus pada hal-hal lain, semisal memberi subsidi bagi kelompok menengah ke bawah terkait biaya air, listrik, dan lain-lain imbas kebijakan karantina wilayah.

"Solidaritas sosial antara warga yang lebih dengan warga yang kurang. Itu saja fokusnya, jangan pemerintah-pemerintah lagi," kata Imam.

"Pemerintah perlu didorong tanggung jawabnya di mana, cuma jangan bolak-balik berharap pemerintah terus, karena enggak akan bisa bertahan kita," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Korban Pelecehan Payudara di Jaksel Trauma, Takut Saat Orang Asing Mendekat

Megapolitan
Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Dilecehkan Pria di Jakbar, 5 Bocah Laki-laki Tak Berani Lapor Orangtua

Megapolitan
Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Rute Transjakarta 12C Waduk Pluit-Penjaringan

Megapolitan
Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Gumarang, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Kronologi Perempuan di Jaksel Jadi Korban Pelecehan Payudara, Pelaku Diduga Pelajar

Megapolitan
Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Masuk Rumah Korban, Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar Ngaku Salah Rumah

Megapolitan
Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Cegah Penyebaran Penyakit Hewan Kurban, Pemprov DKI Perketat Prosedur dan Vaksinasi

Megapolitan
Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Viral Video Gibran, Bocah di Bogor Menangis Minta Makan, Lurah Ungkap Kondisi Sebenarnya

Megapolitan
Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Kriteria Sosok yang Pantas Pimpin Jakarta bagi Ahok, Mau Buktikan Sumber Harta sampai Menerima Warga di Balai Kota

Megapolitan
Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Sedang Jalan Kaki, Perempuan di Kebayoran Baru Jadi Korban Pelecehan Payudara

Megapolitan
Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Polisi Tangkap Aktor Epy Kusnandar Terkait Penyalahgunaan Narkoba

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Pemprov DKI Jakarta Bakal Cek Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha 1445 H

Megapolitan
Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Pekerja yang Jatuh dari Atap Stasiun LRT Kuningan Disebut Sedang Bersihkan Talang Air

Megapolitan
Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Setuju Jukir Ditertibakan, Pelanggan Minimarket: Kalau Enggak Dibayar Suka Marah

Megapolitan
Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Bercak Darah Masih Terlihat di Lokasi Terjatuhnya Pekerja dari Atap Stasiun LRT Kuningan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com