JAKARTA, KOMPAS.com – Rombongan orang-orang Eropa berkerumun di dermaga saat kapal yang membawa Pangeran Diponegoro tiba Batavia. Ada juga yang menyewa kapal-kapal kecil untuk melihat sosok yang paling dicari Belanda pada abad ke-19.
Peristiwa itu menandai jejak sejarah Pangeran Diponegoro di Stadhuis atau yang saat ini dikenal sebagai Museum Fatahillah.
Perang Jawa dengan taktik perang gerilya yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro sungguh bikin Belanda kembang kempis. Akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda dengan tipu daya muslihat di Magelang, Jawa Tengah.
Pangeran Diponegoro berangkat dari Semarang naik kapal uap SS Van Der Cappelen. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 8 April 1830. Dari dermaga, ia dibawa ke gedung Stadhuis naik kereta milik gubernur.
Baca juga: Detik-detik Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Lautan Manusia yang Bergelora...
Sejarawan Peter Carey dalam buku berjudul “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jaya, 1785-1955”, menuliskan awal kedatangan Pangeran Diponegoro. Pemuda asal Skotlandia, George Frank Davidson mengisahkan kedatangan Pangeran Diponegoro di Batavia.
“Kereta gubernur (Johannes Van den Bosch) dan para ajudan berada di dermaga untuk menyambutnya (Pangeran Diponegoro). Dengan kereta itulah ia diangkut ke penjara, tempat ia diasingkan yang tak ada yang tahu letaknya di mana...” tulis George.
George berkata, “Orang yang bernasib malang. Betapa berubah wajahnya, hal yang sudah semestinya, tatkala ia melihat ke arah mana kereta itu bergerak”.
Pangeran Diponegoro terhenyak ketika menjejakkan kaki di jalan masuk Stadhuis. Ia tampak tak rela memasuki gedung balai kota pada masa Belanda itu yang terlihat suram.
Pangeran Diponegoro menatap sekeliling dengan gelisah. Tak ada peluang bagi Pangeran Diponegoro untuk kabur.
Pangeran Diponegoro kemudian bersama istrinya, Raden Ayu Retnoningsih dan adik perempuannya, Raden Ayu Dipowiyono masuk ke dalam dua kamar tempat pengasingannya.
Stadhuis era itu adalah pusat pemerintahan kolonial Belanda di Batavia. Segala macam tahanan mulai dari kasus kriminal dan politik ditempatkan di Stadhuis sebelum menerima keputusan akhir Dewan Pengadilan Belanda.
Pangeran Diponegoro pada saat itu pun demikian. Setelah ia ditangkap di Magelang, ia dibawa ke Batavia untuk menunggu keputusan dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch terkait nasib hidupnya.
Baca juga: Napak Tilas Sejarah Taman Proklamasi, Area Pembacaan Teks Proklamasi hingga Perjuangan Tokoh Wanita
Pangerang Diponegoro tinggal di sebuah kamar lantai dua Stadhuis. Di kamar itu, ia menghabiskan waktu untuk menunggu keputusan sambil mengalami penyakit malaria.
Ia menghabiskan waktunya dengan kegiatan seperti menulis, mengunyah sirih pinang, bermain burung,
Surat yang ia tulis, satu surat untuk ibunya, Raden Ayu Mongkorowati. Satu surat lagi untuk putra sulungnya, Pangeran Diponegoro Muda.
Selama berada di tempat pengasingan di Batavia, Pangeran Diponegoro ditemui oleh beberapa pejabat pemerintahan kota Batavia yang dipimpin oleh Jan van der Vinne (1793-1870).
Ia seorang kepala pemangku hukum (hoofdbaljuw) yang menjabat presiden pengadilan kota untuk pribumi (landraad).
Ada pula yang Van der Vinne, seorang Wakil Presiden Bataviaaasch Genootschap VAN Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Batavia).
Ada juga pihak syahbandar, Johannes Nicolaas Olijve dam Adrianus Johannes Bik. Bik merupakan seorang pelukis berbakat yang dikenal dengan hasil lukisan Pangeran Diponegoro dan kini disimpan di Rijksprenstenkabinet di Rijkmuseum, Belanda.
Peter Carey menuliskan bahwa Pangeran Diponegoro merasakan tinggal selama tiga minggu di Stadhuis sebagai siksaan. Pengakuan tersebut Pangeran Diponegoro ceritakan kepada perwira kawalnya saat dalam perjalanan menuju Manado, tempat pengasingan akhir setelah di Batavia.
Baca juga: Mengenang Peristiwa Pembakaran Bekasi dari Tugu Perjuangan...
Pangeran Diponegoro tinggal di Batavia dengan kondisi terjangkit malaria. Suasana panas Batavia dianggap sebagai siksaan dirinya yang sedang sakit.
“Kesehatannya tak memungkinkan dia hidup di Batavia di mana ia bisa menjadi korban hawa sangat panas,” tulis Knoerle, perwira kawal berpangkat Letnan Dua yang diperintahkan oleh Van den Bosch untuk mendampingi Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro dalam babad karyanya, menyatakan karena “sakit parah” memaksanya tinggal di pembaringan dan tak bisa bertemu dengan Van den Bosch.
Pangeran Diponegoro tinggal di sebuah kamar di atas penjara wanita di Stadhuis. Kamar itu awalnya adalah kamar kepala penjara (cipierswoning) di Stadhuis yang harus dikosongkan jika ada tahanan politik berstatus tinggi seperti Pangeran Diponegoro.
Ruangannya berukuran sekitar 4x5 meter. Dari jendela kamar, ia bisa memandang langsung alun-alun Stadhuis (Stadhuisplein) atau dikenal kini sebagai Taman Fatahillah.
Pangeran Diponegoro ditempatkan di ruang kepala penjara, tak seperti tahanan kriminal lain di penjara bawah tanah yang sempit. Pangeran Diponegoro dianggap tahanan politik berstatus terhormat sehingga diberikan tempat yang layak.
Sebelum menuju Batavia, Pangeran Diponegoro pun sudah sakit-sakitan. Pangeran Diponegoro sempat ditandu saat mendaki sebuah bukit terjal menuju Bedono di perbatasan Karesidenan Semarang.
Setelah keputusan Dewan Pengadilan Belanda keluar, Pangeran Diponegoro diputuskan untuk diasingkan ke luar Pulau Jawa tepatnya ke Manado ((1830-33) kemudian Makassar (1833-55).
Kini, ruang tempat Pangeran Diponegoro diasingkan sementara itu menjadi ruang pameran untuk wisatawan. Ruangan Pangeran Diponegoro di Museum Fatahillah diresmikan pada Selasa, 2 April 2019.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.