Setelah keluar dari kabinet, Anies sementara waktu tak masuk hingar bingar perpolitikan tanah air.
Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk kembali menjadi sorotan.
Tanpa disangka, Anies memutuskan maju dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Meskipun saat itu dia tak memiliki partai, elektabilitas Anies menjanjikan.
Namanya dilirik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra, dua partai yang sebelumnya berseberangan dengan Anies saat Pilpres 2014.
Baca juga: Sejumlah Catatan Penting KPU dari Pilkada 2017
Di dalam politik, tak ada musuh yang abadi dan tak ada kawan yang kekal.
Dua partai itu pun sepakat mengusung Anies bersama Sandiaga Uno untuk bisa mengalahkan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Mendapatkan nomor urut 3 dalam Pilkada DKI, Anies berhasil menang dari pasangan Ahok-Djarot di putaran kedua.
Sementara pada putaran pertama, satu pasangan tersingkir karena mendapat suara lebih rendah dibanding Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, yakni pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Silvyana Murni.
Baca juga: Sinyal Rekonsiliasi Pasca-Pilkada DKI Jakarta...
Pilkada DKI Jakarta 2017 termasuk pilkada yang dramatis karena salah satu calon yakni Ahok berakhir di penjara karena tersandung kasus penistaan agama.
Di tengah kegaduhan politik yang tercipta selama pelaksaan Pilkada 2017, proses pelantikan Anies-Sandiaga Uno berlangsung mulus di Istana Kepresidenan pada 16 Oktober 2017.
Namun, belum genap setahun memimpin roda kepemimpinan di Ibu Kota, Anies kemudian harus ‘berjalan satu kaki’. Pasalnya, Sandiaga mengundurkan diri pada Agustus 2018 karena mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2019.
Kemudian, posisi Sandiaga digantikan kader Partai Gerindra Ahmad Riza Patria yang resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara pada 15 April 2020.
1. Normalisasi vs Naturalisasi
Menjabat sebagai orang nomor satu di Ibu Kota memang tak mudah sehingga setiap gerak gerik Anies selalu diawasi warga. Kontroversi pun tak lepas dari kepemimpinan Anies.
Kontroversi yang paling ramai dibicarakan adalah pengendalian banjir Ibu Kota.
Saat awal menjabat sebagai orang nomor satu di Ibu Kota, Anies berani mengubah istilah normalisasi menjadi naturalisasi.
Anies pertama kali mengenalkan istilah naturalisasi sebagai pengendalian banjir Ibu Kota pada 7 Februari 2018.
Baca juga: Wagub DKI: Tak Perlu Bandingkan Normalisasi dan Naturalisasi, Semuanya Baik
Istilah tersebut menggantikan istilah yang kerap dipakai sebelumnya yakni normalisasi sungai sebagai upaya mengembalikan Kali Ciliwung seperti sedia kala.
Adapun naturalisasi yang dimaksud Anies adalah menghidupkan ekosistem sungai. Selain itu, airnya akan dijernihkan sehingga bisa menjadi habitat hewan.
Anies kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur ( Pergub) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Di dalam aturan itu, makna naturalisasi adalah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Baca juga: Menengok Naturalisasi Sungai di KBB Shangrilla-Karet
Sedangkan normalisasi awalnya merupakan program pengendalian banjir yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Khusus Ibu Kota DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.