Tak ayal, dalam kultur patriarki akhirnya perempuan ditampilkan hanya sebagai objek seksual yang sifatnya hanya "untuk ditatap" pria.
Perempuan diberi cap "simbol moralitas"
Kasus video porno yang melibatkan seorang musisi pria kenamaan pada 2011 lalu bisa jadi contoh paling nyata, betapa perempuan menjadi korban dua kali setiap kali tersandung kasus ini.
Musisi tersebut akhirnya mendekam di bui selama 2 tahun lebih, meskipun video yang akhirnya viral tersebut ia buat bukan buat disebarluaskan.
Namun, yang diseret-seret dan dihakimi secara sosial melalui aneka perbincangan di masyarakat justru dua orang selebritis perempuan yang terlibat dalam video-video itu -- video yang sebetulnya hanya untuk konsumsi pribadi.
Perbincangan yang populer di publik sama sekali bukan soal bagaimana konten itu tersebar, sesuatu yang justru jadi inti kejahatan.
"Di kasus belakangan ini saya tidak tahu, karena saya tidak nonton. Tapi, seandainya yang laki-laki juga seorang artis, kok saya menduga bahwa diskusinya akan tetap soal si artis perempuan ini," jelas Yeni.
Selagi rabun menemukan inti kejahatan dari kasus pornografi, kebanyakan orang malah mendaratkan beban berat yang tak masuk akal pada kaum perempuan, yakni sebagai simbol moralitas masyarakat.
Akibatnya, tatkala perempuan terlibat dalam viralnya video porno - tak peduli jika video itu dibuat untuk kepentingan pribadi semata - dengan mudah kebanyakan orang akan mengkambinghitamkan perempuan, karena dipandang sudah mencoreng moralitas.
"Pakai perbandingan peristiwa yang penyanyi laki-laki itu, kan yang dihajar dan dikejar-kejar kan juga dua orang artis perempuan lain," tambahnya.
"Jadi, ketika si laki-lakinya diketahui, yang dikejar-kejar tetap perempuannya, karena perempuan dianggap sebagai simbol moralitas masyarakat," ia menegaskan.
Waspada pada era digital
Tidak ada yang keliru ketika konten porno dibuat untuk kepentingan diri sendiri, singkatnya untuk privasi masing-masing.
UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, meskipun dikritik berbagai kalangan karena dianggap mencampuradukkan pidana dan moralitas, bahkan juga menjamin hal itu secara eksplisit.
Pada bagian Penjelasan dalam UU Pornografi dijelaskan, maksud "membuat" (konten porno) yang dapat dijerat pidana tidak termasuk membuat konten porno "untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri".